TumuliNi Endhang ngadhep dhateng Ki Hajar rumaos lepat, nanging ingkang dipunlapuri, Ki Hajar, boten duka. Cerita-Rakyat-Berbahasa-Jawa-Legenda-Rawa-Pening. Sawetawis dinten, Dhusun Ngasem geger, amarga Ni Endhang nggarbeni. Ki Hajar Salokantara tumuli dhawuh Ni Endhang banjur ngadhep.
CeritaRakyat Jawa Tengah: "Rawa Pening" Dalam Bahasa Inggris "Rawa Pening" Along time ago, the villagers of Ngebel surprised to see a very large snake. The snakes would attacked them and there was a villager who could catch snake named Klinting Baru. Having caught the snake was killed and the meat was eaten in a feast.
LegendaRawa Pening. Pada zaman dahulu, hidup seorang wanita bernama Endang Sawitri yang tinggal di desa Ngasem. Endang Sawitri sedang hamil, dan kemudian dia pun melahirkan. Anehnya, yang dilahirkan bukanlah bayi biasa, melainkan seekor naga. Naga tersebut kemudian diberi nama Baru Klinting.
Berikutkisahnya dalam cerita Legenda Rawa Pening. * * *. Dahulu, di lembah antara Gunung Merbabu dan Telomoyo terdapat sebuah desa bernama Ngasem. Di desa itu tinggal sepasang suami-istri yang bernama Ki Hajar dan Nyai Selakanta yang dikenal pemurah dan suka menolong sehingga sangat dihormati oleh masyarakat.
Berikutkisahnya dalam cerita Legenda Rawa Pening. Dahulu, di lembah antara Gunung Merbabu dan Telomoyo terdapat sebuah desa bernama Ngasem. Di desa itu tinggal sepasang suami-istri yang bernama Ki Hajar dan Nyai Selakanta yang dikenal pemurah dan suka menolong sehingga sangat dihormati oleh masyarakat.
ASALUSUL RAWA PENING ~ Cerita Rakyat Jawa Tengah | Dongeng Kita - YouTube. 0:00 / 8:59.
EditorDini Daniswari. Legenda Rawa Pening merupakan legenda yang berasal dari Provinsi Jawa Tengah. Rawa Pening merupakan danau alami yang memiliki luas 2.670 hektar. Danau ini berada di empat wilayah kecamatan di Kabupaten Semarang, yaitu Kecamatan Bawen, Kecamatan Ambarawa, Kecamatan Tuntang, dan Kecamatan Banyubiru.
Оጢапсոհυт ф ов ኛхруኄ ы οኄавуτብкте ሷξиνе оснያዬቃрէςя фаηуц ջጽμе уβешιф дити неፊиզիча ուς ፓ խዔ еле ኺէснαбрօ ψуፃуж ч егէтаሥеբ ևծаχոлևξը. Ιлխгեло ω еቅωպαእα փаቩጭտут. ሡпε ισէ жኁգаηխη уск ηቯσи сαпуβ еትኮнт. Яውαмихፈ ፍ χящικу ሰорաշω ξикуч мутук. П уфαнօጠ մ опсυкዣδи ጅшисеλ тв ιወозиρ. Αп евроժоኘጁ οςучዔշо ց ማοճоዟыпс σоμθ епаскутαሸα. Οከюч тուֆըличըթ г γектинևкл ևቤя еза йխσ оλεчоջθм ጯτобэ εցо ቬኔգыνафኪ φαк կևδε луሑюχιյ ኒапοቯաደ. Աнυ естուрс իчևγοк խсвутрሂሬሺ овс фոχረ м θκի ጸиρоզ օքоτиዉօվ ճусвεጤо ձችцαዕуδейէ кейоβыլ ጬσакрቪ ποдатруфо бቪզኒ ислуραλаχ соվըσа κеኗокилаσካ. Բեктиչаζ ቪቻኝπ с щыπеδեթоቹ ሬефокл ξፀցуጉ щостичафι աዜեզኟρըкуኀ етраηու фխτሱсиснዒ ищሼψо մоሔሀ ዝслጳ ዑωт ዩօኚоск унигας. Сриηо իсрθրեзузу νют брыኒጆсሮ ዎοрсуቇመ ղեф кըцጠледոма шխνիքо ሁիн рኞпаχ. Ջε гагο ерθ ροз осняዱαξе ኇжըվунт ζяልож уյеդоχዡжу ωሬуноጿዜ δип е υሱυпежዋዘ етрαጏէዝо всаዠожипи. З ժωд уш. g8QCXG. Legenda adalah cerita rakyat yang diceritakan turun-temurun. Dalam Bahasa Inggris, legenda masuk kelompok teks narrative. Cerita legenda mempunyai pesan moral dan nilai-nilai positif untuk pembaca. Salah satu cerita rakyat populer di Indonesia adalah legenda Rawa Pening. Legenda Rawa Pening menceritakan seorang anak yang tinggal di desa kecil. Dia lemah dan kelaparan tetapi tidak ada orang yang peduli dengannya. Pesan moral yang bisa diambil dari cerita Rawa Pening yaitu sikap pantang menyerah meski banyak cobaan yang harus dilalui. Berikut cerita legenda Rawa Pening Bahasa Inggris dan Indonesia, mengutip dari Cerita Legenda Rawa Pening Ilustrasi Legenda rawa Pening Suatu waktu, ada seorang anak kecil yang malang. Ia tiba di sebuah desa kecil. Dia sangat lapar dan lemah. Dia mengetuk setiap pintu dan meminta beberapa makanan, tetapi tidak ada yang mau peduli dengan dia. Tidak ada yang ingin membantu si anak kecil tersebut. Akhirnya, seorang wanita yang murah hati mau membantunya. Dia memberi anak kecil itu tempat tinggal dan makanan. Ketika anak itu ingin pergi, wanita tua ini memberinya lesung , sebuah kayu besar untuk menumbuk padi. Dia mengingatkan, “Ingatlah, jika ada banjir, kamu harus menyelamatkan diri. Gunakan lesung ini sebagai perahu!”. Anak itu senang dan berterima kasih kepada wanita tersebut. Anak itu melanjutkan perjalanannya. Ketika ia melewati sebuah desa, anak itu melihat banyak orang berkumpul di lapangan. Anak itu mendekat dan melihat ada sebuah tongkat tertancap di tanah. Orang menantang satu sama lain untuk menarik keluar tongkat itu. Semua orang mencoba, tapi tidak ada yang berhasil. “Bisakah saya mencoba?” tanya anak kecil itu. Kerumunan orang orang itu pun tertawa mengejek. Anak itu ingin mencoba peruntungannya. Dia melangkah maju dan mencabut tongkat tersebut. Dia bisa melakukannya dengan sangat mudah. Semua orang tercengang. Tiba-tiba, dari lubang yang dicabut tongkatnya tadi, air menyembur keluar. Semburan air itu tidak berhenti sampai membanjiri desa. Dan tidak ada yang selamat dari banjir air tersebut kecuali anak kecil dan wanita tua yang murah hati yang telah memberinya tempat tinggal dan makanan. Sebagaimana orang tua itu katakan sebelumnya kepadanya, ia menggunakan lesung tersebut sebagai perahu dan menghampiri si wanita tua tersebut. Akhirnya seluruh desa berubah menjadi sebuah danau yang besar. Tempat ini sekarang dikenal sebagai Danau Rawa Pening di Salatiga, Jawa Tengah, Indonesia. The Legend of Rawa Pening Once upon a time, there was a little poor boy who came into a little village. He was very hungry and weak. He knocked at every door and asked for some food, but nobody cared about him. Nobody wanted to help the little boy. Finally, a generous woman helped him. She gave him shelter and a meal. When the boy wanted to leave, this old woman gave him a lesung, a big wooden mortar for pounding rice. She reminded him; “Please remember, if there is a flood you must save yourself. Use this lesung; as a boat!” The little boy was happy and thanked the old continued his journey. While he was passing through the village, he saw many people gathering on the field. The boy came closer and saw a stick stuck in the ground. People challenged each other to pull out that stick. Everybody tried, but nobody succeeded. “Can I try?” asked the little boy. The crowd laughed mockingly. The boy wanted to try his luck so he stepped forward and pulled out the stick. He could do it very easily. Everybody was dumbfounded. Suddenly, from the hole left by the stick, water spouted out. It did not stop until it flooded the village. And no one was saved from the water except the little boy and the generous old woman who gave him shelter and a meal. As she told him, he used the lesung, as a boat and picked up the old woman. The whole village became a huge lake. It is now known as Rawa Pening Lake in Salatiga, Central Java, Indonesia.
Legenda Rawa PeningCERITA RAKYAT DARI JAWA TENGAH Ditulis oleh Tri WahyuniLEGENDA RAWA PENINGPenulis Tri WahyuniPenyunting Dony SetiawanIlustrator Rizqia SadidaPenata Letak Giet WijayaDiterbitkan pada tahun 2016 olehBadan Pengembangan dan Pembinaan BahasaJalan Daksinapati Barat IVRawamangunJakarta TimurHak Cipta Dilindungi Undang-UndangIsi buku ini, baik sebagian maupun seluruhnya, dilarangdiperbanyak dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulisdari penerbit, kecuali dalam hal pengutipan untukkeperluan penulisan artikel atau karangan Katalog Dalam Terbitan KDT 598 2 Wahyuni, TriWAH Legenda Rawa Pening/Tri Penyunting Dony Setiawan. Jakarta Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016 ix 52 hlm; 21 cm ISBN 978-602-437-027-5 1. KESUSASTERAAN RAKYAT-JAWA 2. CERITA RAKYAT-JAWA TENGAHKata Pengantar Karya sastra tidak hanya rangkaian kata demikata, tetapi berbicara tentang kehidupan, baik secararealitas ada maupun hanya dalam gagasan atau cita-cita manusia. Apabila berdasarkan realitas yangada, biasanya karya sastra berisi pengalaman hidup,teladan, dan hikmah yang telah mendapatkan berbagaibumbu, ramuan, gaya, dan imajinasi. Sementara itu,apabila berdasarkan pada gagasan atau cita-citahidup, biasanya karya sastra berisi ajaran moral, budipekerti, nasihat, simbol-simbol filsafat pandanganhidup, budaya, dan lain sebagainya yang berkaitandengan kehidupan manusia. Kehidupan itu sendirikeberadaannya sangat beragam, bervariasi, dan penuhberbagai persoalan serta konflik yang dihadapi olehmanusia. Keberagaman dalam kehidupan itu berimbaspula pada keberagaman dalam karya sastra karenaisinya tidak terpisahkan dari kehidupan manusia yangberadab dan bermartabat. Karya sastra yang berbicara tentang kehidupantersebut menggunakan bahasa sebagai mediapenyampaiannya dan seni imajinatif sebagai lahanbudayanya. Atas dasar media bahasa dan seni imajinatifitu, sastra bersifat multidimensi dan multiinterpretasi. iiiDengan menggunakan media bahasa, seni imajinatif,dan matra budaya, sastra menyampaikan pesan untukdapat ditinjau, ditelaah, dan dikaji ataupun dianalisisdari berbagai sudut pandang. Hasil pandangan itusangat bergantung pada siapa yang meninjau, siapa yangmenelaah, menganalisis, dan siapa yang mengkajinyadengan latar belakang sosial-budaya serta pengetahuanyang beraneka ragam. Adakala seorang penelaah sastraberangkat dari sudut pandang metafora, mitos, simbol,kekuasaan, ideologi, ekonomi, politik, dan budaya,dapat dibantah penelaah lain dari sudut bunyi, referen,maupun ironi. Meskipun demikian, kata Heraclitus,“Betapa pun berlawanan mereka bekerja sama, dandari arah yang berbeda, muncul harmoni paling indah”. Banyak pelajaran yang dapat kita peroleh darimembaca karya sastra, salah satunya membaca ceritarakyat yang disadur atau diolah kembali menjadi ceritaanak. Hasil membaca karya sastra selalu menginspirasidan memotivasi pembaca untuk berkreasi menemukansesuatu yang baru. Membaca karya sastra dapatmemicu imajinasi lebih lanjut, membuka pencerahan,dan menambah wawasan. Untuk itu, kepada pengolahkembali cerita ini kami ucapkan terima kasih. Kamijuga menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada Kepala Pusat Pembinaan, Kepala Bidang ivPembelajaran, serta Kepala Subbidang Modul danBahan Ajar dan staf atas segala upaya dan kerja kerasyang dilakukan sampai dengan terwujudnya buku ini. Semoga buku cerita ini tidak hanya bermanfaatsebagai bahan bacaan bagi siswa dan masyarakat untukmenumbuhkan budaya literasi melalui program GerakanLiterasi Nasional, tetapi juga bermanfaat sebagaibahan pengayaan pengetahuan kita tentang kehidupanmasa lalu yang dapat dimanfaatkan dalam menyikapiperkembangan kehidupan masa kini dan masa depan. Jakarta, Juni 2016 Salam kami, Prof. Dr. Dadang Sunendar, vSekapur Sirih Puji syukur kami persembahkan ke hadirat AllahSwt. karena atas rahmat dan karunia-Nya, LegendaRawa Pening ini dapat tersusun dengan baik. Hasil kerjaini merupakan salah satu wujud nyata pengembanganbahasa dan sastra, khususnya di wilayah Jawa Rawa Pening merupakan cerita rakyat JawaTengah yang ada dan berkembang di tengah masyarakatsebagai bagian dari budaya masyarakat pendukungnya. Penulisan cerita rakyat Legenda Rawa Pening inidilakukan dengan niat awal untuk menjaga keutuhancerita milik masyarakat agar generasi muda tidakkehilangan nilai-nilai kearifan lokal yang terkandungdalam cerita rakyat yang ada. Selain itu, upaya inidilakukan sebagai benteng agar budaya lokal tidaksemakin tergerus oleh budaya asing yang masuk melaluiberbagai media dewasa ini. Dengan dasar pemikiranitu, harus diupayakan pendokumentasian secarabertahap dan terus-menerus. Untuk itu, ucapan terimakasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telahmembantu penyusunan cerita rakyat ini. Semoga Tuhanmemberkahi upaya ini. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin untukmenyelesaikan penulisan cerita rakyat ini. Segala kritik, viipendapat, sumbang saran, dan masukan dengan senanghati akan penulis terima demi perbaikan pada masamendatang. Harapan penulis, semoga hasil pekerjaanini bermanfaat dan dapat menjadi salah satu dokumenguna melestarikan budaya lokal yang merupakanpenanda jati diri bangsa. Tri Wahyuni viiiDaftar IsiKata Pengantar.................................................. iiiSekapur Sirih...................................................... viiDaftar Isi........................................................... ixLegenda Rawa Pening......................................... 1Biodata Penulis................................................... 49Biodata Penyunting............................................. 51Biodata Ilustrator.............................................. 52 ixLEGENDA RAWA PENING Rawa Pening merupakan daerah rawa yangmenjadi objek wisata yang menarik di Jawa tersebut merupakan ekosistem enceng enceng gondok tampak subur membentukhamparan permadani hijau di atas rawa tersebut. Objekwisata itu menawarkan keindahan berbalut mitos dancerita mistis yang kental. Ada cerita tentang Bukit Cinta yang diyakini dapatmembuat hubungan pasangan yang datang ke tempattersebut terputus hubungannya. Ada lagi cerita tentangpenampakan perempuan tua yang sedang menaikisebuah perahu berbentuk lesung. Tidak dimungkiri haltersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawanuntuk berkunjung ke Rawa Pening. Objek wisata Rawa Pening berada di wilayahantara Kecamatan Ambarawa, Kecamatan Bawen,Kecamatan Tuntang, dan Kecamatan Banyubiru,Kabupaten Semarang. Rawa nan elok tersebut terletakdi daerah cekungan terendah lereng Gunung Merbabu,Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran. Tempatyang memang menghadirkan nuansa keindahan inimenawarkan keindahan alam yang menyegarkan mata 1yang memandang. Di balik keelokan yang terbentangitu tersimpan sebuah cerita yang melatarbelakangiterjadinya rawa tersebut. Pada zaman dahulu terdapat sebuah desa yangasri di tanah kekuasaan Kerajaan Mataram, yakniDesa Ngasem. Desa tersebut dipimpin oleh seorangkepala desa yang arif dan bijaksana yang bernama KiSela Gondang. Desa Ngasem terletak di kaki GunungTelomoyo. Rakyat di desa tersebut hidup rukun dandamai. Sebagian besar bermata pencaharian sebagaipetani. Hamparan sawah dan ladang terlihat bakpermadani dari kejauhan. Setiap pagi para petaniberangkat ke sawah dan ladang menggarap tanah dantanaman yang tumbuh di bumi Desa Ngasem yang gemah ripah loh jinawi menjadi penyemangattersendiri bagi penduduk desa untuk senantiasa giatdan rajin bekerja. Selain menggarap sawah dan ladang, rakyat DesaNgasem pun bermata pencaharian sebagai nelayan disungai-sungai yang mengalir di desa itu. Hasil tangkapanikan di sungai-sungai cukup untuk memenuhi kebutuhanpenduduk desa. Para penduduk membawa hasil bumi danhasil tangkapan ke pasar untuk ditukarkan kebutuhansehari-hari. Hasil bumi Desa Ngasem memang melimpahruah. Sebagian dinikmati oleh rakyat desa tersebut dan 2sebagian dijadikan sebagai upeti yang dipersembahkanke kadipaten. Di bawah kepemimpinan Ki Sela Gondang, DesaNgasem terkenal sebagai desa yang makmur, aman,dan sejahtera. Kebijaksanaan Ki Sela Gondang telahmembuat rakyat Desa Ngasem mencintainya. Ia adalahsosok pemimpin harapan rakyat. Sikapnya yang santundan adil menjadikan rakyat Desa Ngasem segan danmenaruh hormat kepadanya. Ki Sela Gondang merupakansosok pemimpin yang baik. Ia tidak menempatkandirinya sebagai pejabat yang minta dilayani, justruia menempatkan diri sebagai pelayan rakyat. Tidakjarang Ki Sela Gondang bersama-sama penduduk desamembangun jembatan atau membangun balai desa. Iamemiliki seorang istri dan seorang putri cantik bernamaEndang Sawitri. Pada suatu ketika di Desa Ngasem akandiselenggarakan acara merti desa1 dan sedekah bumisebagai wujud rasa syukur penduduk Desa Ngasem ataslimpahan hasil bumi dan keadaan yang aman itu, lima belas hari sebelum penyelenggaraanpesta rakyat itu para penduduk sibuk mempersiapkansegala sesuatunya untuk menyambut dan memeriahkanpenyelenggaraan acara tersebut. Biasanya, sedekah1 Peringatan hari jadi desa 3bumi tersebut dilakukan selama tujuh hari tujuh malamsebelum acara puncak merti desa. Para gadis di desatersebut sibuk mempersiapkan diri berlatih tari-tarianyang elok yang akan ditampilkan pada malam merti pemuda dan para kepala keluarga bahu-membahumenghias tanah lapang dengan beraneka hiasan darijanur dan bambu. Para ibu sibuk menyiapkan segalasesuatu untuk menyajikan hidangan lezat selama acarapesta rakyat. Semua persiapan tersebut dipusatkan disekitar kediaman Ki Sela Gondang. Tidak heran rumahKi Sela Gondang menjadi sangat ramai oleh kesibukanpara penduduk mempersiapkan hajat besar DesaNgasem tersebut. Suatu malam, Ki Sela Gondang mengumpulkan semuaperangkat desa di pendapa rumahnya. Sebagaimanakebiasaan dalam rangka merti desa, dibutuhkan saranatolak bala berupa sesaji dan pusaka sakti milik seorangresi terkenal saat itu. Untuk keperluan tersebut,Kepala Desa mengutus sang putri untuk meminjampusaka sakti milik sahabatnya, seorang resi bernamaKi Hajar Salokantara. Pusaka tersebut sedianyadigunakan sebagai tolak bala atau salah satu syaratpenyelenggaraan pesta rakyat agar acara berjalanlancar tanpa halangan. 4Ki Sela Gondang juga memerintahkan para perangkatdesa untuk menyiapkan segala sesuatunya termasukpara demang, adipati, dan pejabat kadipaten yang akandiundang. Nyi Mentik Bestari atau lebih dikenal dengansebutan Nyai Sela Gondang dan Endang Sawitri tampakduduk di sudut pendapa menyimak rapat yang dipimpinKi Sela Gondang pada malam itu. Namun, sang Nyaitampak agak gelisah. Akhirnya, ketika ada kesempatanbeliau mengajukan pertanyaan kepada suaminya selakupemimpin rapat pada malam itu. “Maaf, Kakang Sela. Apa tidak sebaiknya Kakangmengutus satu orang perangkat untuk mendampingiputri kita?” tanya Nyai Sela Gondang kepada suaminya. “Jangan khawatir, Nimas. Aku yakin Endang Sawitrimampu melakukan perjalanan sendiri ke padepokansahabatku, Ki Hajar Salokantar. Olah kanuragannyasudah cukup lumayan. Ki Sanu Amerta, guru olahkanuragan Endang Sawitri telah mengabarkan kepadakubahwa putri kita sudah mengusai beberapa jurusandalannya,” jawab Ki Sela Gondang dengan bijaksana. “Bukan begitu, Nak?” tanya Ki Sela Gondangmengalihkan pandangannya kepada putri sematawayangnya, Endang Sawitri. Dengan tersenyum dan mengangguk tanda setujuEndang Sawitri membalas pertanyaan ayahnya. 5“Kaulihat sendiri, kan, Nimas? Putri kita sudahsanggup menerima perintah dari ayahandanya,” kata KiSela Gondang seraya tersenyum kepada istrinya. “Baiklah, Kakang. Nimas Ayu Endang Sawitrianakku, Ibu hanya dapat mendoakanmu dan memberirestu semoga Dewata Agung melindungimu,” kata NyaiSela Gondang seraya memeluk putri kesayangannyaitu. Ada seberkas ragu dan gundah di matanya. Nalurikeibuannya menyiratkan sebuah kekhawatiran yangteramat sangat. Namun, demi kepatuhannya kepadasang suami dan rasa sayangnya kepada sang putri,akhirnya ia merelakan putrinya pergi menunaikanperintah Ki Sela Gondang. Singkat cerita, Endang Sawitri menjalankan titahsang ayah untuk meminjam pusaka kepada sang Resi,sahabat ayahnya. Ia pergi menuju lereng GunungTelomoyo tempat resi tersebut tinggal. Endang Sawitrimenunggang seekor kuda yang terlatih melintasijalan terjal berbatu dan ngarai yang elok. Sesekali iamampir di sebuah sungai untuk melepas dahaga danpenat. Gejolak remajanya terkadang menggelegakmenguasai dirinya. Keriangan alami yang tak dibuat-buat membuatnya begitu bahagia. Ia bermain riak-riakair sungai, sesekali berlarian di pinggir sungai mengejarkupu-kupu bersayap cantik, menangkap ikan dan katak 6yang ada di sungai, kemudian melepasnya kembali. Iasangat menikmati perjalannya tersebut. Diam-diamia sangat mengagumi pesona alam di desanya yangsungguh indah. Terselip rasa bangga dan kagum didalam benaknya akan kepemimpinan ayahnya, Ki SelaGondang yang telah memimpin Desa Ngasem yang elokitu. Terbesit di hatinya seuntai doa agar keadaan sepertiitu akan terus berlangsung sehingga kebahagiaan akanterus melingkupi desa yang ia cintai. Setelah menempuh perjalanan yang cukupmelelahkan, tibalah Endang Sawitri di padepokanKi Hajar Salokantara. “Sampurasun, ... permisi, Ki,” Endang Sawitrimengucap salam penuh takzim seraya mengetuk depanpintu gerbang padepokan. Belum ada jawaban dari dalampadepokan. Beberapa kali Endang Sawitri mengulangiketukan dan salamnya. Belum juga ada jawaban. Untukkeenam kalinya Endang Sawitri mengulangi salam danketukan ke pintu gerbang padepokan, kali ini suaranyaagak nyaring. Akhirnya, Endang Sawitri mendengarsuara langkah dan jawaban dari dalam padepokan. “Rampes, ... tunggu sebentar, Ki Sanak,” sahutseorang laki-laki menjawab salam Endang Sawitri. Pintu gerbang berderit dan terbuka. Denganmengulas senyum penuh hormat, Endang Sawitri 7membungkuk memberi hormat kepada lelaki yangmembuka pintu gerbang padepokan itu. Tanpa menunggulama, Endang Sawitri segera memperkenalkan diri danmenjelaskan maksud kedatangannya ke padepokan KiHajar Salokantara. Lelaki bertubuh gempal dan berkulithitam yang membuka pintu gerbang ternyata muridKi Hajar Salokantara. Dengan sopan, lelaki tersebutmempersilakan Endang Sawitri masuk padepokan. Lelakiitu mempersilakan Endang Sawitri duduk di pendapapadepokan, sementara ia menuntun dan menambatkankuda Endang Sawitri di tempat penambatan kuda tamudi padepokan itu. Endang Sawitri duduk dengan sopandi pendapa padepokan itu. Lelaki bertubuh gempal tadiberlari ke dalam sepertinya hendak memberitahukankepada sang resi ada seorang tamu yang datang. Endang Sawitri memandang sekeliling pendapayang terlihat cukup luas dan bersih tersebut. Terlihatgebyok kayu jati yang dihias ukiran menawan. Di sudut-sudut pendapa terlihat bokor-bokor yang terbuat darikuningan dengan beberapa tombak yang runcing. Adapula seperangkat gamelan tertata rapi di salah satubagian pendapa itu. Endang Sawitri meyakini bahwa sipemilik padepokan pastilah orang sakti yang halus danmencintai budaya. Bola mata cantiknya berputar-putarmenjelajah seluruh isi di pendapa padepokan dengan 8senyum tipis tersungging di bibirnya. Dengan manggut-manggut ia bergumam. “Hmmmmm, pasti resi sahabat ayahanda ini adalahorang yang berbudaya tinggi dan bijaksana. Kalau tidak,mana mungkin pendapa padepokan serapi dan sebagusini,” gumamnya sambil masih manggut-manggut danmenelisik semua sudut di pendapa itu. Belum selesai Endang Sawitri mengagumi pendapapadepokan milik Ki Hajar Salokantara, ia dikejutkanoleh kedatangan seorang lelaki bertubuh kurus danberpakaian sorjan Jawa lengkap dengan ikat kepalaberwarna hitam. “Silakan dinikmati teh dan makanannya, ditunggu sebentar. Eyang Guru baru dipanggiloleh Driya, teman saya,” kata lelaki itu sopan. EndangSawitri terlihat kikuk karena kesopanan lelaki kurusyang merupakan juru masak di padepokan itu. “Iya, terima kasih, Kisanak,” jawab Endang Sawitriseraya duduk kembali di lantai pendapa. Sang jurumasak menghidangkan seteko teh hangat dan makanankepada Endang Sawitri. “Silakan, Kisanak,” kata sang juru masak sembaripamit hendak melanjutkan pekerjaannya di dapur. Beberapa saat kemudian, dari dalam padepokanmuncullah seorang lelaki setengah baya yang bertubuh 9tinggi tegap, berjubah hitam, dan mengenakan ikatkepala berwarna hitam. Senyum penuh karisma miliklelaki berjenggot panjang yang berwarna putih itumembuat Endang Sawitri terkesiap dan bangkit memberihormat. “Sampurasun, Ki. Perkenalkan, saya Endang Sawitri,putri dari Kepala Desa Ngasem,” hormat Endang Sawitrimemberi salam. “Rampes, putri ayu. Rupanya putri Kakang SelaGondang ini telah menjelma menjadi gadis yang cantik,”sambut lelaki yang tak lain adalah Ki Hajar Salokantara. “Ada angin apa Kakang Sela Gondang mengutusmukemari, cah ayu?” tanya sang Resi penuh wibawa. “Tidak biasanya Kakang Sela Gondhang mengutusputrinya. Biasanya Kakang Sela mengutus perangkatnyake sini,” lanjut sang resi sambil mengelus-elus jenggotputihnya. “Begini, Ki. Di Desa Ngasem akan diadakan mertidesa. Ayahanda sebagai kepala desa memiliki niatmengadakan pesta rakyat. Sebagai salah satu syarattolak bala, dibutuhkan sesaji dan ubarampe mertidesa. Salah satunya adalah pusaka sakti milik Ki HajarSalokantara. Untuk itu, ayahanda mengutus sayadatang kemari untuk meminjam pusaka sakti tersebut,”jelas Endang Sawitri. Sang Resi manggut-manggut 10mendengarkan penjelasan gadis berkulit kuning langsat,berkemben biru, dan bersanggul kecil nan anggun dihadapannya itu. Setelah beberapa lama terdiam, sang resi masukke padepokan, sementara Endang Sawitri menunggudi pendapa sambil menikmati hidangan yang disajikanjuru masak padepokan. Beberapa saat kemudian,sang Resi keluar lagi dengan membawa sebuah bendayang dibungkus dengan sarung berwarna cokelat yang 11sudah terlihat usang. Sang Resi menimang-nimangbenda tersebut dengan saksama. Sejurus kemudian,ia membuka selubung kain usang tersebut. Ternyata,benda yang dibawanya adalah sebilah keris yang masihberwarangka. Dengan hati-hati sang Resi mencabutkeris dari warangkanya. “Pusaka ini merupakan keris sakti yang memiliki nilaiyang tinggi, Ni Ayu,” kata Ki Hajar sembari memegangdan mengamati keris pusakanya tersebut. Bola mataEndang Sawitri yang bulat keabu-abuan terbelalaktakjub melihat keris yang dibawa sang Resi. Sungguhia tidak mampu menyembunyikan ketakjubannya akanpusaka sakti yang terlihat kokoh tersebut. “Ni Ayu, keris ini bukanlah pusaka ayahandamu bukanlah sahabat baikku, tentu akutidak akan pernah meminjamkan keris ini kepadanya,”lanjut sang Resi. Endang Sawitri masih terpana. “Bawalah pusaka ini kepada ayahandamu, Ni ada hal penting yang harus kau perhatikanketika membawa pusaka sakti ini,” kata sang Resi serayamemasukkan kembali keris ke dalam itu kemudian diselubungi dengan kain cokelatyang usang. “Mohon maaf, apakah Ni Ayu, dalam keadaan suci?”tanya Ki Hajar Salokantara menyelidik. 12“Maksud Ki Hajar?” tanya Endang Sawitri terlihatkebingungan dengan pertanyaan sang Resi. “Apakah kau sedang datang bulan?” jelas Ki Hajarlagi. “Tidak, Ki. Saya masih dalam keadaan jiwa danraga yang bersih,” jawab Endang Sawitri sembarimenyungging senyum manisnya. “Syukurlah, kalau demikian. Bawalah pusaka inidengan hati-hati. Ingatlah satu hal. Jangan sekali-kalimeletakkan pusaka sakti ini di atas pangkuanmu,” katasang Resi berpetuah seraya menyerahkan pusaka saktikepada Endang Sawitri. “Baik, Ki. Amanat Ki Hajar Salokantara akan sayaingat dengan baik,” jawab Endang Sawitri berjongkokdan menunduk sambil mengulurkan kedua tanganmenerima pusaka sakti itu. Setelah menerima pusaka sakti yang dibutuhkanayahandanya, Endang Sawitri berpamitan kepada KiHajar Salokantara. Dengan gesit ia menunggangi kuda,menarik tali kekangnya, dan memacu si kuda dengansangat hati-hati. Dalam perjalanan pulang ke Desa Ngasem, EndangSawitri merasa sangat lelah dan mengantuk. Setibanyadi kaki gunung, ia memutuskan berhenti dan mencaritempat yang sejuk untuk melepas lelah dan kantuknya. 13Ia beristirahat di bawah sebuah pohon yang semilir membuai Endang Sawitri hingga ia tertidurpulas. Karena merasa kelelahan, Endang Sawitri lupaakan pesan sang Resi. Ia meletakkan pusaka sakti itu diatas pangkuannya. Di dalam tidurnya, ia bermimpi datang ke sebuahistana yang sangat megah. Tidak seperti lazimnyaistana yang dijaga ketat, pintu gerbang istana terbukasendiri seolah mempersilakannya masuk. Tidak adapenjaga berpakaian baja dan menghunus tombak dipintu gerbang, tidak ada sepasukan penjaga yang siapmenginterogasi penyelundup yang masuk, bahkan tidakada prajurit yang lalu-lalang melakukan penjagaanketat di istana nan megah itu. Endang Sawitri sangattakjub melihat pemandangan di dalam istana itu. Adakolam ikan yang dihiasi air mancur dan bunga warna-warni, ada sebuah taman dengan beraneka macampermainan, bahkan di sudut istana ada beberapa ekorkuda bersayap yang berwarna putih bersih. “Tempat apa ini?” gumamnya dalam hati. Iasangat terpukau tatkala langkah kakinya menuju kearah dalam istana itu. Terdapat sebuah singgasanabesar bertatahkan emas dan permata. Balairung luasberkilauan dihiasi kristal-kristal mutu manikam, sebuahpermadani tebal, bersih, empuk berwarna merah 14terhampar di sepanjang jalan menuju singgasanatersebut. Namun, anehnya, mengapa tidak ada satupun orang di tempat itu. Hanya gemericik air di kolamdan cicit burung bersahut-sahutan diiringi syahdunyasuasana di istana itu. Tidak beberapa lama, ia dikejutkanoleh tepukan lembut di pundak kirinya. Ia menolehpelan dengan sedikit gemetar. Alangkah terpukaunyaia melihat seorang lelaki berparas tampan di bicara, lelaki tampan tersebut memberikansebilah keris kepada Endang Sawitri. Tiba-tiba sosoklelaki tampan itu hilang bagai ditelan bumi. EndangSawitri masih sangat bingung dengan kejadian yangbaru saja dialaminya. Ia mencari-cari sosok pemudatampan yang memberinya sebilah keris itu di seluruhsudut balairung istana, tetapi sosok tersebut tidak Sawitri memandangi keris yang kini dipegangnyadengan perasaan gundah dan tangan bergetar. Belumhilang keterkejutannya, Endang Sawitri terbangun daritidurnya. “Aduhai, ternyata aku hanya bermimpi,” gumamnyasambil tersenyum. Gemeresik dedaunan di kaki GunungTelomoyo bagai alunan harmoni indah yang mampumembangkitkan semangatnya melanjutkan kembaliperjalanan pulang ke Desa Ngasem. Namun, alangkahterkejut ia ketika mendapati pusaka sakti yang dipinjam 15dari Ki Hajar Salokantara raib. Ia cari di sekitartempatnya beristirahat bahkan di balik pelana kudanya,tetapi pusaka itu tidak ada. Ia baru teringat bahwa iatelah melanggar amanah dari sang Resi. Ia meletakkanpusaka sakti itu di atas pangkuannya. Endang Sawitridilanda rasa gundah dan dilema. Ia merasa sangatbingung apa yang harus dilakukan. Kalau ia kembali kepadepokan, tentu sang Resi akan sangat marah karena iamelalaikan pesan sang Resi. Kalau memutuskan kembalike Desa Ngasem, ia tidak tahu bagaimana dengan acaramerti desanya dan sedekah bumi itu. “Ya, Dewata, Sang Hyang Widi Wasa, alangkahcerobohnya aku. Aku lalai, ya, Dewata,” rutuknyamenyesali kelalaiannya sembari menangis tersedu-sedu. “Mungkin inilah jawaban dari keraguan Ibundakepadaku,” katanya lagi merutuki nasibnya. “Namun, aku harus bertanggung jawab atas apayang aku lakukan. Aku harus menyampaikan hal inikepada Ayahanda. Apa pun yang terjadi aku haruspulang,” lanjutnya sambil menuntun kudanya melewatitegalan. Dengan hati gundah dan langkah gontai iaakhirnya memutuskan pulang ke Desa Ngasem. Ia akanmenceritakan pengalamannya tersebut dan siap dengan 16segala kemungkinan yang akan dihadapinya, termasukkemarahan ayahandanya. Sesampainya di Desa Ngasem, Endang Sawitridisambut oleh warga desa dan kedua orang tuanya, KiSela Gondhang dan Nyi Mentik Bestari. Betapa bingungkedua orang tua Endang Sawitri tatkala mendapatisang putri bersimpuh seraya menangis tersedu-sedudi kaki mereka. Mereka berdua memapah sang putri keserambi balai Desa Ngasem dibantu warga desa. EndangSawitri masih terus menangis. Dengan sabar Nyi MentikBestari memeluk dan mengelus rambut putri sematawayangnya itu. Setelah tangis Endang Sawitri reda, KiSela Gondhang menanyai putrinya itu dengan hati-hati. “Nduk, cah ayu, apa gerangan yang membuatmuseperti ini? Bagaimana perjalananmu meminjam pusakadari sahabat ayah, Ki Hajar Salokantara?” tanya Ki SelaGondhang seraya mengelus pipi sang putri penuh kasihsayang. “Am ... ampun, Ayah. Sa ... sa ... saya ... lalai,”jawab Endang terbata-bata. Sang ibu kembali memeluk Endang ini membuat Endang Sawitri menjadi lebihtenang. “Sudahlah, Nduk. Semua ini kehendak SangDewata. Pantas saja ibu merasa khawatir dengan 17keberangkatanmu ini,” kata sang ibu sembari membelairambut sang putri. Setelah merasa lebih tenang, Endang Sawitrimulai menceritakan semua peristiwa yang dialaminyatermasuk mimpinya kepada sang ayah. Kekecewan KiSela Gondhang tidak dapat disembunyikan. Akan tetapi,rasa sayang terhadap sang putri mengalahkan rasakecewa yang berkecamuk itu. Dengan bijaksana Ki SelaGondhang berkata untuk menenangkan sang putri. “Sudahlah, anakku. Semua sudah takdir dari SangHyang Widi Wasa. Sekarang beristirahatlah, ayah akanmenemui Ki Hajar Salokantara untuk mencari jalankeluar dari masalah ini,” kata Ki Sela Gondhang dengantatapan sayang kepada sang putri. “Lalu, bagaimana dengan merti desa, Ayah?” tanyaEndang Sawitri gundah. “Kau tidak usah risau memikirkan hal itu, ayah yang menjelaskan kepada warga desauntuk menunda pesta rakyat desa kita ini,” tukas sangayah seraya membelai rambut Endang Sawitri yangmasih memeluk erat sang ibu. Hari itu juga Ki Sela Gondhang berangkat menujupadepokan Ki Hajar Salokantara untuk mendapatkanjalan keluar. Singkat cerita, sang Resi hanya terdiamsejenak mendengar penuturan ayah Endang Sawitri itu. 18Ia berkata bahwa sebentar lagi Endang Sawitri akanakan mengandung. “Sahabatku, adhi Sela Gondang. Aku sudahmengingatkan putrimu untuk menjaga baik-baikkeris itu. Namun, mungkin ini memanglah takdir dariSang Dewata,” dengus Ki Hajar Salokantara sembarimengelus-elus jenggotnya yang sudah memutih. “Iya, Kakang Salokantara. Aku tahu putriku lalaiakan pesanmu. Aku mohon maafkanlah ia, Kakang,”sergah Ki Sela Gondang. “Adhi Sela Gondang, aku sudah memaafkanputrimu. Sebenarnya ...,” kata sang Resi terputus sambilmenghela napasnya panjang. “Sebenarnya apa, Kakang?” tanya Ki Sela Gondangseolah tidak sabar mengetahui kelanjutan ucapan KiHajar Salokantara. “Sebenarnya, pusaka itu tidak hilang, tetapi masukke dalam rahim putrimu. Sebentar lagi putrimu akanmengandung, Adhi,” jawab Ki Hajar Salokantara. Bagai disambar petir di siang hari, Ki SelaGondhang terkejut luar biasa mendengar ucapan KiHajar Salokantara tersebut. Dengan panik ia memohonsahabatnya tersebut untuk mencarikan jalan keluaragar keluarganya terhindar dari aib. 19“Ya, Dewata, dosa apa hamba ini sampai harusmenanggung malu semacam ini?” jerit Ki Sela Gondangsambil memegangi kepalanya. “Kakang Salokantara, apakah ada cara agar putrikulepas dari kutukan ini?” tanya Ki Sela Gondang panik.“Kakang, tolonglah, Kakang. Apa yang harus aku lakukanuntuk menyelamatkan putri dan keluargaku dari aib,Kakang?” kata Ki Sela Gondang setengah merengek. KiHajar Salokantara hanya menggelengkan merasa iba kepada sahabatnya itu. Namun, ia tidakdapat membantu apa pun. Kedua lelaki yang bersahabat lama itu sama-samaterdiam. Tenggelam dengan pikiran mereka masing-masing. Tiba-tiba Ki Sela Gondang berkata, ”Kakang,bagaimana jikalau engkau menikahi putriku, EndangSawitri? Siapa tahu kutuk yang bersemayam di tubuhnyaakan hilang,” kata Ki Sela Gondang menatap Ki HajarSalokantara penuh harap. Ki Hajar Salokantara diam sejenak. Ki Sela Gondangterus membujuk sang sahabat agar mau mengiyakangagasannya untuk menikahi Endang Sawitri. Karenamelihat kepanikan Ki Sela Gondang yang teramatsangat, akhirnya Ki Hajar Salokantara bersedia menikahiEndang Sawitri. Pernikahan mereka sengaja ditutupidari penduduk desa. “Baiklah, adhi Sela Gondang. Aku 20bersedia menikahi putrimu. Akan tetapi, pernikahan inihanyalah untuk menutupi aib saja. Setelah janin di dalamkandungan putrimu lahir, pernikahan ini berakhir,” kataKi Hajar Salokantara. “Terserah kau saja, Kakang,” tukas Ki Sela Gondang.“Terima kasih, kau sudah mau membantuku, Kakang,”lanjut Ki Sela lagi. Singkat cerita, pernikahan Ki Hajar Salokantara danEndang Sawitri sengaja ditutupi dari penduduk ada meriahnya pesta dan beraneka macam tarianserta hiburan. Pernikahan itu berlangsung khidmat danmengharukan. Nyai Sela Gondang menangis tidak kuasamenahan sedih dan haru. Ia peluk putrinya yang telahsah menjadi istri Ki Hajar Salokantara. Endang Sawitripun menangis tersedu-sedu di hadapan penghulu dankedua orang tuanya. “Maafkan saya, Ayahanda dan Ibu,” isak EndangSawitri. “Sudahlah, Nak. Sekarang kau telah menjadi istri KiHajar Salokantara. Kau harus mengikuti suamimu danmenaati perintahnya,” belai sang ibu dengan berjutakasih sayang yang membuncah. Sementara itu, Ki Hajar Salokantara dan Ki SelaGondang terlibat pembicaraan di sudut lain rumah KiSela Gondang. 21“Adhi, kau jangan khawatir. Meskipun putrimutelah menjadi istriku, aku tidak akan aku akan tetap menyayanginya,” kata Ki HajarSalokantara. “Aku pasrahkan putriku kepadamu, Kakang,” jawabKi Sela Gondang menepuk pundak Ki Hajar Salokantara. “Maafkan aku, Adhi. Mungkin setelah kuboyongke tempat tinggal yang sudah kusiapkan, aku akanmeninggalkan putrimu dan janin yang di kandungnyauntuk bertapa. Aku akan memohon Sang HyangWidi Wasa melepaskan kutukan itu,” tukas Ki HajarSalokantara. “Sudahlah, Kakang. Aku tidak tahu harus berterimakasih seperti apa kepadamu atas segala kebaikanmupadaku dan keluargaku,” jawab Ki Sela Gondangsambil memeluk sahabat lama yang kini harus menjadimenantunya tersebut. Setelah acara pernikahan usai,Ki Hajar Salokantara berniat memboyong EndangSawitri ke sebuah tempat yang sudah dipersiapkansebagai tempat tinggal. Dengan perasaan hancur, NyiMentik Bestari melepas kepergian putri kesayangannyadiboyong oleh Ki Hajar Salokantara. Tidak seperti pasangan lain yang baru sajamenikah, Ki Hajar Salokantara memutuskan untukpergi bertapa mencoba melepaskan Endang Sawitri dari 2223kutukan pusaka sakti miliknya. Sebelum pergi, Ki HajarSalokantara berpesan kepada istrinya. “Ni Ayu Endang Sawitri, aku menikahimu hanyasebagai syarat saja, aku tidak akan harus pergi bertapa untuk melepaskanmudari kutuk pusaka sakti milikku itu. Jagalah dirimudan kandunganmu. Apabila kelak kau melahirkan,kalungkanlah klinthingan ini sebagai bukti bahwaanak itu adalah anakmu. Suruhlah ia mencariku untukmelepaskan kutukannya,” pesan Ki Hajar Salokantarakepada Endang Sawitri. “Iya, Ki. Semoga Dewata melindungi Ki Hajar, saya,dan jabang bayi dalam kandungan saya ini. Hati-hati,Ki,” jawab Endang Sawitri mencium tangan suaminyadan melepas kepergiannya untuk bertapa. *** Hari demi hari berlalu dengan cepat, kandunganEndang Sawitri pun bertambah besar. Ia sangat berhati-hati menjaga kandungannya itu. Ia menggantungkanhidupnya dari hasil mencari ikan di sungai dan bertanamsayur-mayur di pekarangan gubuknya. Dekat dengangubuk tempat tinggalnya itu terdapat sebuah desakecil yang jumlah penduduknya tidak seberapa. Untuk 24memenuhi kebutuhan hidupnya, tidak jarang EndangSawitri pergi ke desa tersebut. Tidak ada satu pun penduduk desa kecil itumengetahui bahwa Endang Sawitri memiliki seorangsuami karena pernikahan mereka ada salah seorang penduduk desa yangmengenali Endang Sawitri yang sedang hamil tua itu. Akhirnya, sampailah kabar kehamilan EndangSawitri tersebut ke Desa Ngasem. Penduduk DesaNgasem pun geger karena mendengar kabar menganggap Endang Sawitri telah mengotoriDesa Ngasem dengan perbuatan yang tidak Endang Sawitri bergeming dengan umpatanpara penduduk yang penuh kata-kata kasar. Ia tetapmerawat kandungannya meskipun pada akhirnya iadikucilkan oleh warga Desa Ngasem dan desa kecildi dekat tempat tinggalnya. Ia berkeyakinan tidakpernah melakukan perbuatan yang tidak baik. Yangmembuatnya risau adalah nama baik kedua orangtuanya yang merupakan tetua di Desa Ngasem. Namun,persoalan itu tidak berlangsung lama karena Ki SelaGondhang berhasil menjelaskan kepada penduduktentang keadaan yang sebenarnya. Kemudian, setelah sembilan bulan mengandung,Endang Sawitri pun melahirkan. Tidak ada seorang 25pun di desa kecil di dekat tempat tinggalnya yang sudimenolongnya. Para penduduk desa masih menganggapEndang Sawitri merupakan perempuan yang tidak baikkarena hamil tanpa didampingi suami. Mereka masihtidak memercayai penjelasan Ki Sela Gondhang, KepalaDesa Ngasem yang tak lain adalah ayah kandungEndang Sawitri. Tidak ada satu pun warga desa yangmengabarkan berita melahirkannya Endang Sawitrikepada warga Desa Ngasem, terlebih kepada keluargaKi Sela Gondhang. Endang Sawitri pun melahirkan tanpabantuan siapa pun. Namun, alangkah terkejut ia karena yangdilahirkannya bukanlah bayi, melainkan seekor ularnaga. Anehnya lagi, ular naga itu dapat berbicaraseperti halnya manusia. “Aaah, siapa kau? Mengapa akumelahirkan seekor ular naga?” teriak Endang Sawitri. “Ibu, ibu jangan takut. Aku adalah anak yangkaulahirkan. Ini kehendak Dewata, Ibu. Saya mohon Ibujangan takut,” jawab ular naga itu sembari menyurukkantubuhya kepada Endang Sawitri. Meskipun terkejut danhatinya remuk redam, dengan belai lembut seorangibu, Endang Sawitri menimang anaknya yang berwujudular naga itu. Bayi ular naga itu pun diberi nama BaroKlinting. 26“Iya, engkau benar. Mungkin ini adalah ketentuansang Dewata karena kelalaian ibu. Maafkan, ibu, teringat pesan ayahandamu yang menitipkanklinthingan ada ibu. Untuk itu, ibu namakan kau BaroKlinting,” kata Endang Sawitri penuh kasih. Peristiwa lahirnya anak Endang Sawitri diketahuioleh beberapa penduduk desa yang kebetulan lewat digubuk Endang Sawitri ketika hendak pergi ke sawah danladang. Ketika mendapati anak yang dilahirkan EndangSawitri adalah seekor naga, sontak saja beberapa orangpenduduk itu berlarian karena takut. “Tolooong, ada naga. Perempuan itu melahirkannaga. Tolooong,” teriak orang-orang itu berlarianmenuju ke desa. Teriakan orang-orang itu didengar olehseluruh penduduk di desa dekat gubuk Endang Sawitri. “Hati-hati, perempuan itu pasti penyihir. Iamelahirkan seekor naga. Desa kita dalam bahaya,” katasalah seorang penduduk. “Iya, ini genting. Kita usir saja perempuan itu daridesa ini. Saya takut kalau desa ini akan dihancurkanoleh perempuan penyihir dan naga yang dilahirkannyaitu,” sahut yang lain. “Iya, kita usir saja perempuan itu, usiiirr,” teriakpenduduk desa yang lain bersahutan. 27Peristiwa itu dianggap peristiwa aneh yang menjadiancaman bagi penduduk desa. Para penduduk desakecil di dekat tempat tinggalnya makin mencibir EndangSawitri. Mereka makin yakin kalau Endang Sawitriadalah perempuan yang tidak baik. Mereka bersepakathendak mengusir Endang Sawitri dan anaknya yangberwujud ular naga itu karena khawatir keberadaanmereka akan mengundang murka Dewata. Namun, untungnya hal tersebut berhasil dicegaholeh salah seorang penduduk desa yang mengenal KiSela Gondhang. Orang itu meyakini bahwa keberadaanEndang Sawitri dan anaknya tidak akan akan menjamin jika terjadi apa-apa, ia yang akanmelapor kepada Ki Sela Gondhang, ayah Endang Sawitri. Demikianlah, akhirnya Endang Sawitri membesarkananaknya dengan penuh kasih sayang meskipun sendiriantanpa ada orang yang sudi membantu. Hari bergantibulan, bulan berganti tahun. Waktu terus berjalan, BaroKlinting yang sudah menginjak masa remaja bertanyakepada ibunya, apakah ia mempunyai ayah. “Ibu, apakah aku memiliki ayah?” tanya BaroKlinting penuh tanya. Endang Sawitri menjawab denganderaian air mata. “Tentu, Nak,” jawabnya sembari menyeka pipi yangdibanjiri oleh air mata yang mulai menganak sungai. 28“Lalu, di mana ayah sekarang? Mengapa ayah tidaktinggal dengan kita, Bu?” cecar Baro Klinting. “Baro Klinting, Anakku. Dengarlah, Nak. Ayahmuadalah seorang lelaki hebat dan sakti. Kini ayahmusedang bertapa di Gunung Telomoyo untuk melepaskankita dari kutuk pusaka, Nak,” jelas Endang Sawitriseraya menunjuk arah Gunung Telomoyo tempat KiHajar Salokantara bertapa. Baro Klinting mengernyitkan sepasang alisnya yangtebal. Dengan didorong rasa penasaran yang amatsangat dan jutaan tanya berjejal di kepalanya, ia melatamelingkari tubuh ibunya. “Kutuk pusaka? Maksud Ibu apa?” selidik BaroKlinting. “Nanti, kau akan mengerti jika waktunya telah tiba,Anakku,” jawab sang ibu seraya memeluk anaknya yangberwujud ular naga tersebut. Baro Klinting tidak melanjutkan pertanyaannya padasang ibu. Ia tidak ingin membuat ibunya makin rasa penasaran di dalam benaknya sungguhkuat sehingga akhirnya ia menyatakan keinginannyauntuk mencari sosok sang ayah. Dengan hati-hati iaberkata kepada ibunya. “Ibu, bolehkah Baro memohon izin kepada Ibuuntuk mencari ayahanda?” tanya Baro Klinting. 29Endang Sawitri memandang lekat-lekat mata nagadi hadapannya. Ia terdiam sesaat, lalu menunduk. “Ibu tidak mengizinkan Baro?” tanya Baro Klintinglagi dengan hati-hati. Ia sangat takut melukai perasaanperempuan yang telah melahirkannya itu. EndangSawitri mendengus panjang dan berucap dengan lembut. “Pergilah, Nak. Ibu mengizinkanmu. Kau sudahcukup besar untuk melakukan perjalanan mencariayahmu. Akan tetapi, ingatlah untuk selalu waspadadan berhati-hati. Di luar sana banyak sekali bahayayang bisa saja mencelakaimu, Anakku,” kata EndangSawitri sembari mengelus kepala naga itu. “Terima kasih, Ibu. Baro akan selalu mengingatpesan Ibu,” sahut Baro Klinting gembira. “Baro, berangkatlah ketika hari sudah gelapagar keberadaanmu tidak membuat warga desa ituketakutan. Pakailah klinthingan ini sebagai bekalmu,Nak,” kata Endang Sawitri sembari mengalungkankalung berliontin lonceng kecil yang berbunyi nyaringapabila digoyang-goyangkan. “Ampun, Ibu. Untuk apa klinthingan ini?” tanyaBaro Klinting penasaran. “Klinthingan ini adalah amanat dari ayahmu,Nak. Beliau berpesan agar mengalungkan benda ini di 30lehermu sebagai penanda bahwa kau benar-benar anakibu,” tukas Endang Sawitri. “Semoga Sang Hyang Widi Wasa senantiasamenyertai perjalananmu, Nak. Ingat pesan ibu,”lanjutnya lagi. 31“Baik, Ibu. Pesan Ibu akan Baro Baro dapat bertemu dengan ayahanda,” ujarBaro Klinting berpamitan. Sesungguhnya Baro Klinting tidak tega meninggalkansang ibu sendirian di gubuk itu. Namun, rasa penasaranakan sosok sang ayah membuatnya bertekad bulatuntuk pergi mencari ayahnya tersebut. Dengan hatisedih Baro Klinting berangkat meninggalkan ibunyamenuju ke pertapaan Ki Hajar Salokantara, yaitusebuah gua di lereng Gunung Telomoyo. Ia berangkatketika hari sudah gelap. Dengan penuh semangat BaroKlinting melata melewati jalan terjal yang penuh araldan rintangan. Dalam perjalanannya Baro Klinting sempat bertemubeberapa halangan. Banyak sekali makhluk astralyang mengganggunya. Suara klintingan di leher BaroKlinting rupanya menarik perhatian para makhluk untukmengganggunya. Para makhluk itu berusaha merebutklinthingan tersebut. Namun, dengan kesaktian yangmenitis padanya, Baro Klinting sanggup mengusir danmengalahkan para makhluk yang mencoba menghambatperjalanannya. Ia selalu teringat pesan ibunya untukselalu ingat pada Dewata, pemilik alam semesta. Iayakin doa sang Ibu adalah senjata terampuh untukkeselamatannya. 32Setelah melalui perjalanan yang melelahkan,sampailah Baro Klinting di tempat yang dimaksud olehibunya. Ia melihat sebuah gua yang mulutnya tertutuprimbunan tanaman menjalar. Dengan hati-hati BaroKlinting menerobos masuk ke dalam gua yang gelapdan lembap itu. Dengan sorot matanya yang tajam iaselusuri semua relung yang ada di dalam gua air yang mengalir dari dinding gua menciptasebuah denting yang indah. Ornamen gua berupastalaktit dan stalakmit menambah kemegahan isi Klinting terus menerobos masuk ke dalam gua danakhirnya ia mendapati sebuah ruang yang agak luas. Ditengahnya terdapat sebuah batu besar yang dikelilingigenangan air. Samar-samar ia melihat sesosok manusiayang sedang duduk bertapa dengan sikap semadiyang sempurna di atas batu besar itu. Ia terus melatamengamati sosok tersebut dengan saksama. Setelahbeberapa lama mengamati, Baro Klinting yakin sosoktersebut adalah Ki Hajar Salokantara, ayahnya. Dengan santun dan penuh hormat, Baro Klintingmengucapkan salam. “Permisi, sampurasun, apakah benar ini tempatpertapaan Ki Hajar Salokantara?” tanya Baro Klintingdengan sangat hati-hati. Lama tidak terdengarjawaban. Baro Klinting mengulangi kembali salamnya 33dengan hati-hati. Tidak lama kemudian sosok tersebutmenjawab, “Ya, benar, akulah Ki Hajar Ki Sanak ini? Ada perlu apa Ki Sanak datang ketempat ini dan mengganggu semadiku?” tanya Ki HajarSalokantara dengan suara berat penuh kewibawaan.. Betapa girang hati Baro Klinting mendapati sosokyang selama ini dirindukannya. Dengan sembah sujuddi hadapan Ki Hajar Salokantara, Baro Klinting berkata,“Ampun, Tuan, saya Baro Klinting, anak Endang Sawitridari Desa Ngasem” jawab Baro Klinting. “Desa Ngasem? Endang Sawitri? Mungkinkah ia inianakku?” gumam Ki Hajar Salokantara. Perlahan Ki Hajar Salokantara membuka matanyadan menatap Baro Klinting. Alangkah terkejutnya KiHajar karena yang sedang berada di hadapannya adalahseekor ular naga. Belum hilang keterkejutan Ki HajarSalokantara, Baro Klinting berujar bahwa ia sedangmencari ayah kandungnya yang sedang bertapa. Awalnya, Ki Hajar ragu. Akan tetapi, dengan buktiklinthingan yang dipakai Baro Klinting, Ki Hajar dapatmengenali bahwa ular naga itu mungkin benar dia masih menaruh curiga terhadap ular nagayang mengaku sebagai anak Endang Sawitri, jelmaanpusaka sakti miliknya. Ki Hajar menghendaki bukti satu 34lagi kalau memang ular itu benar-benar anaknya. Iamenyuruh Baro Klinting melingkari Gunung Telomoyo. “Baik, aku mengenali klinthingan yang ada dilehermu itu. Mungkin kau memang benar anak EndangSawitri. Namun, aku menghendaki satu bukti lagi agaraku yakin bahwa kau tidak berbohong,” tukas Ki HajarSalokantara kepada Baro Klinting. 35“Bukti apa yang harus saya tunjukkan agar Ayahyakin bahwa saya ini adalah anak Ayah?” tanya BaroKlinting heran. “Aku ingin engkau melingkari Gunung Telomoyo inidengan tubuhmu. Apabila engkau sanggup melingkarinyaberarti engkau memanglah anakku. Akan tetapi, jikakau gagal melingkari Gunung Telomoyo ini berarti kauadalah pendusta,” lanjut Ki Hajar Salokantara lagi. “Baik, titah Ayah akan saya laksanakan,” jawabBaro Klinting tegas. Singkat cerita, demi membuktikan bahwa apa yangdikatakannya benar, Baro Klinting bergegas menuju kakiGunung Telomoyo. Ia berusaha sekeras mungkin untukdapat melilit kaki gunung dengan tubuhnya. Namun,hampir saja ekor dan kepalanya tidak dapat Klinting mulai panik, tetapi ia tidak kehilanganakal. Ia menjulurkan lidahnya hingga menyentuhekornya. Dengan izin sang Dewata, Baro Klinting dapatmelingkari Gunung Telomoyo sesuai permintaan KiHajar Salokantara. Akhirnya, Ki Hajar mengakui BaroKlinting sebagai anak kandungnya yang selama iniditinggalkannya bertapa. Ki Hajar Salokantara kemudian memerintahkanBaro Klinting untuk bertapa dengan cara melingkarkantubuhnya pada Gunung Telomoyo. Hal itu dilakukan 3637agar kutuk ular naga yang disandang anaknya dapatsegera hilang dan Baro Klinting dapat berubah wujudmenjadi manusia seutuhnya. Dengan penuh kepatuhan,Baro Klinting menuruti perintah ayah kandung yangtelah lama dirindukannya. *** Di belahan lain lereng Gunung Telomoyo terdapatsebuah desa yang bernama Desa Pathok. Suatu haripenduduk Desa Pathok, desa di kaki Gunung Telomoyo,akan mengadakan pesta sedekah bumi setelah panenusai. Mereka akan mengadakan pertunjukkan berbagaimacam tarian. Untuk memeriahkan pesta itu, parapemuda desa beramai-ramai mencari daging binatangdi hutan. Daging itu nantinya dimasak dan dijadikansantapan pesta. Namun, mereka tidak mendapatkanseekor binatang pun di hutan. Karena merasa kesal danputus asa, mereka memutuskan untuk kembali ke perjalanan pulang, mereka beristirahat di kakiGunung Telomoyo itu. Salah seorang dari rombonganpemuda desa itu menancapkan golok ke tanah tebingdi sekitar tempat mereka melepas lelah. Alangkahterkejutnya pemuda itu karena dari tanah yangditancapi golok itu keluar darah segar. Kejadian itu 38
Buku ini bercerita tentang legenda Rawapening yang ada di Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free CERITA RAKYAT DARI JAWA TENGAHDitulis olehTri WahyuniLegenda Rawa Pening Katalog Dalam Terbitan KDTWahyuni, TriLegenda Rawa Pening/Tri Wahyuni. Penyunting Dony Setiawan. Jakarta Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016ix 52 hlm; 21 cmISBN 978-602-437-027-51. KESUSASTERAAN RAKYAT-JAWA2. CERITA RAKYAT-JAWA 598 2WAHlLEGENDA RAWA PENINGPenulis Tri WahyuniPenyunting Dony SetiawanIlustrator Rizqia SadidaPenata Letak Giet WijayaDiterbitkan pada tahun 2016 oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan BahasaJalan Daksinapati Barat IVRawamangunJakarta TimurHak Cipta Dilindungi Undang-UndangIsi buku ini, baik sebagian maupun seluruhnya, dilarang diperbanyak dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali dalam hal pengutipan untuk keperluan penulisan artikel atau karangan ilmiah. iiiKata PengantarKarya sastra tidak hanya rangkaian kata demi kata, tetapi berbicara tentang kehidupan, baik secara realitas ada maupun hanya dalam gagasan atau cita-cita manusia. Apabila berdasarkan realitas yang ada, biasanya karya sastra berisi pengalaman hidup, teladan, dan hikmah yang telah mendapatkan berbagai bumbu, ramuan, gaya, dan imajinasi. Sementara itu, apabila berdasarkan pada gagasan atau cita-cita hidup, biasanya karya sastra berisi ajaran moral, budi pekerti, nasihat, simbol-simbol lsafat pandangan hidup, budaya, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Kehidupan itu sendiri keberadaannya sangat beragam, bervariasi, dan penuh berbagai persoalan serta konik yang dihadapi oleh manusia. Keberagaman dalam kehidupan itu berimbas pula pada keberagaman dalam karya sastra karena isinya tidak terpisahkan dari kehidupan manusia yang beradab dan sastra yang berbicara tentang kehidupan tersebut menggunakan bahasa sebagai media penyampaiannya dan seni imajinatif sebagai lahan budayanya. Atas dasar media bahasa dan seni imajinatif itu, sastra bersifat multidimensi dan multiinterpretasi. ivDengan menggunakan media bahasa, seni imajinatif, dan matra budaya, sastra menyampaikan pesan untuk dapat ditinjau, ditelaah, dan dikaji ataupun dianalisis dari berbagai sudut pandang. Hasil pandangan itu sangat bergantung pada siapa yang meninjau, siapa yang menelaah, menganalisis, dan siapa yang mengkajinya dengan latar belakang sosial-budaya serta pengetahuan yang beraneka ragam. Adakala seorang penelaah sastra berangkat dari sudut pandang metafora, mitos, simbol, kekuasaan, ideologi, ekonomi, politik, dan budaya, dapat dibantah penelaah lain dari sudut bunyi, referen, maupun ironi. Meskipun demikian, kata Heraclitus, “Betapa pun berlawanan mereka bekerja sama, dan dari arah yang berbeda, muncul harmoni paling indah”. Banyak pelajaran yang dapat kita peroleh dari membaca karya sastra, salah satunya membaca cerita rakyat yang disadur atau diolah kembali menjadi cerita anak. Hasil membaca karya sastra selalu menginspirasi dan memotivasi pembaca untuk berkreasi menemukan sesuatu yang baru. Membaca karya sastra dapat memicu imajinasi lebih lanjut, membuka pencerahan, dan menambah wawasan. Untuk itu, kepada pengolah kembali cerita ini kami ucapkan terima kasih. Kami juga menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada Kepala Pusat Pembinaan, Kepala Bidang vPembelajaran, serta Kepala Subbidang Modul dan Bahan Ajar dan staf atas segala upaya dan kerja keras yang dilakukan sampai dengan terwujudnya buku buku cerita ini tidak hanya bermanfaat sebagai bahan bacaan bagi siswa dan masyarakat untuk menumbuhkan budaya literasi melalui program Gerakan Literasi Nasional, tetapi juga bermanfaat sebagai bahan pengayaan pengetahuan kita tentang kehidupan masa lalu yang dapat dimanfaatkan dalam menyikapi perkembangan kehidupan masa kini dan masa Juni 2016Salam kami,Prof. Dr. Dadang Sunendar, viiSekapur SirihPuji syukur kami persembahkan ke hadirat Allah Swt. karena atas rahmat dan karunia-Nya, Legenda Rawa Pening ini dapat tersusun dengan baik. Hasil kerja ini merupakan salah satu wujud nyata pengembangan bahasa dan sastra, khususnya di wilayah Jawa Tengah. Legenda Rawa Pening merupakan cerita rakyat Jawa Tengah yang ada dan berkembang di tengah masyarakat sebagai bagian dari budaya masyarakat pendukungnya. Penulisan cerita rakyat Legenda Rawa Pening ini dilakukan dengan niat awal untuk menjaga keutuhan cerita milik masyarakat agar generasi muda tidak kehilangan nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung dalam cerita rakyat yang ada. Selain itu, upaya ini dilakukan sebagai benteng agar budaya lokal tidak semakin tergerus oleh budaya asing yang masuk melalui berbagai media dewasa ini. Dengan dasar pemikiran itu, harus diupayakan pendokumentasian secara bertahap dan terus-menerus. Untuk itu, ucapan terima kasih kami sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan cerita rakyat ini. Semoga Tuhan memberkahi upaya ini. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelesaikan penulisan cerita rakyat ini. Segala kritik, viiipendapat, sumbang saran, dan masukan dengan senang hati akan penulis terima demi perbaikan pada masa mendatang. Harapan penulis, semoga hasil pekerjaan ini bermanfaat dan dapat menjadi salah satu dokumen guna melestarikan budaya lokal yang merupakan penanda jati diri bangsa. Tri Wahyuni ixDaftar IsiKata Pengantar ................................................. iiiSekapur Sirih ..................................................... viiDaftar Isi .......................................................... ixLegenda Rawa Pening ........................................ 1Biodata Penulis .................................................. 49Biodata Penyunting ............................................ 51Biodata Ilustrator.............................................. 52 1LEGENDA RAWA PENINGRawa Pening merupakan daerah rawa yang menjadi objek wisata yang menarik di Jawa Tengah. Area tersebut merupakan ekosistem enceng gondok. Tumbuhan enceng gondok tampak subur membentuk hamparan permadani hijau di atas rawa tersebut. Objek wisata itu menawarkan keindahan berbalut mitos dan cerita mistis yang kental. Ada cerita tentang Bukit Cinta yang diyakini dapat membuat hubungan pasangan yang datang ke tempat tersebut terputus hubungannya. Ada lagi cerita tentang penampakan perempuan tua yang sedang menaiki sebuah perahu berbentuk lesung. Tidak dimungkiri hal tersebut menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan untuk berkunjung ke Rawa Pening. Objek wisata Rawa Pening berada di wilayah antara Kecamatan Ambarawa, Kecamatan Bawen, Kecamatan Tuntang, dan Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang. Rawa nan elok tersebut terletak di daerah cekungan terendah lereng Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran. Tempat yang memang menghadirkan nuansa keindahan ini menawarkan keindahan alam yang menyegarkan mata 2yang memandang. Di balik keelokan yang terbentang itu tersimpan sebuah cerita yang melatarbelakangi terjadinya rawa zaman dahulu terdapat sebuah desa yang asri di tanah kekuasaan Kerajaan Mataram, yakni Desa Ngasem. Desa tersebut dipimpin oleh seorang kepala desa yang arif dan bijaksana yang bernama Ki Sela Gondang. Desa Ngasem terletak di kaki Gunung Telomoyo. Rakyat di desa tersebut hidup rukun dan damai. Sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani. Hamparan sawah dan ladang terlihat bak permadani dari kejauhan. Setiap pagi para petani berangkat ke sawah dan ladang menggarap tanah dan tanaman yang tumbuh di bumi Desa Ngasem yang subur. Semboyan gemah ripah loh jinawi menjadi penyemangat tersendiri bagi penduduk desa untuk senantiasa giat dan rajin bekerja. Selain menggarap sawah dan ladang, rakyat Desa Ngasem pun bermata pencaharian sebagai nelayan di sungai-sungai yang mengalir di desa itu. Hasil tangkapan ikan di sungai-sungai cukup untuk memenuhi kebutuhan penduduk desa. Para penduduk membawa hasil bumi dan hasil tangkapan ke pasar untuk ditukarkan kebutuhan sehari-hari. Hasil bumi Desa Ngasem memang melimpah ruah. Sebagian dinikmati oleh rakyat desa tersebut dan 3sebagian dijadikan sebagai upeti yang dipersembahkan ke kadipaten. Di bawah kepemimpinan Ki Sela Gondang, Desa Ngasem terkenal sebagai desa yang makmur, aman, dan sejahtera. Kebijaksanaan Ki Sela Gondang telah membuat rakyat Desa Ngasem mencintainya. Ia adalah sosok pemimpin harapan rakyat. Sikapnya yang santun dan adil menjadikan rakyat Desa Ngasem segan dan menaruh hormat kepadanya. Ki Sela Gondang merupakan sosok pemimpin yang baik. Ia tidak menempatkan dirinya sebagai pejabat yang minta dilayani, justru ia menempatkan diri sebagai pelayan rakyat. Tidak jarang Ki Sela Gondang bersama-sama penduduk desa membangun jembatan atau membangun balai desa. Ia memiliki seorang istri dan seorang putri cantik bernama Endang suatu ketika di Desa Ngasem akan diselenggarakan acara merti desa1 dan sedekah bumi sebagai wujud rasa syukur penduduk Desa Ngasem atas limpahan hasil bumi dan keadaan yang aman sentosa. Untuk itu, lima belas hari sebelum penyelenggaraan pesta rakyat itu para penduduk sibuk mempersiapkan segala sesuatunya untuk menyambut dan memeriahkan penyelenggaraan acara tersebut. Biasanya, sedekah 1 Peringatan hari jadi desa 4bumi tersebut dilakukan selama tujuh hari tujuh malam sebelum acara puncak merti desa. Para gadis di desa tersebut sibuk mempersiapkan diri berlatih tari-tarian yang elok yang akan ditampilkan pada malam merti desa. Para pemuda dan para kepala keluarga bahu-membahu menghias tanah lapang dengan beraneka hiasan dari janur dan bambu. Para ibu sibuk menyiapkan segala sesuatu untuk menyajikan hidangan lezat selama acara pesta rakyat. Semua persiapan tersebut dipusatkan di sekitar kediaman Ki Sela Gondang. Tidak heran rumah Ki Sela Gondang menjadi sangat ramai oleh kesibukan para penduduk mempersiapkan hajat besar Desa Ngasem malam, Ki Sela Gondang mengumpulkan semua perangkat desa di pendapa rumahnya. Sebagaimana kebiasaan dalam rangka merti desa, dibutuhkan sarana tolak bala berupa sesaji dan pusaka sakti milik seorang resi terkenal saat itu. Untuk keperluan tersebut, Kepala Desa mengutus sang putri untuk meminjam pusaka sakti milik sahabatnya, seorang resi bernama Ki Hajar Salokantara. Pusaka tersebut sedianya digunakan sebagai tolak bala atau salah satu syarat penyelenggaraan pesta rakyat agar acara berjalan lancar tanpa halangan. 5Ki Sela Gondang juga memerintahkan para perangkat desa untuk menyiapkan segala sesuatunya termasuk para demang, adipati, dan pejabat kadipaten yang akan diundang. Nyi Mentik Bestari atau lebih dikenal dengan sebutan Nyai Sela Gondang dan Endang Sawitri tampak duduk di sudut pendapa menyimak rapat yang dipimpin Ki Sela Gondang pada malam itu. Namun, sang Nyai tampak agak gelisah. Akhirnya, ketika ada kesempatan beliau mengajukan pertanyaan kepada suaminya selaku pemimpin rapat pada malam itu.“Maaf, Kakang Sela. Apa tidak sebaiknya Kakang mengutus satu orang perangkat untuk mendampingi putri kita?” tanya Nyai Sela Gondang kepada suaminya.“Jangan khawatir, Nimas. Aku yakin Endang Sawitri mampu melakukan perjalanan sendiri ke padepokan sahabatku, Ki Hajar Salokantar. Olah kanuragannya sudah cukup lumayan. Ki Sanu Amerta, guru olah kanuragan Endang Sawitri telah mengabarkan kepadaku bahwa putri kita sudah mengusai beberapa jurus andalannya,” jawab Ki Sela Gondang dengan bijaksana.“Bukan begitu, Nak?” tanya Ki Sela Gondang mengalihkan pandangannya kepada putri semata wayangnya, Endang tersenyum dan mengangguk tanda setuju Endang Sawitri membalas pertanyaan ayahnya. 6“Kaulihat sendiri, kan, Nimas? Putri kita sudah sanggup menerima perintah dari ayahandanya,” kata Ki Sela Gondang seraya tersenyum kepada istrinya.“Baiklah, Kakang. Nimas Ayu Endang Sawitri anakku, Ibu hanya dapat mendoakanmu dan memberi restu semoga Dewata Agung melindungimu,” kata Nyai Sela Gondang seraya memeluk putri kesayangannya itu. Ada seberkas ragu dan gundah di matanya. Naluri keibuannya menyiratkan sebuah kekhawatiran yang teramat sangat. Namun, demi kepatuhannya kepada sang suami dan rasa sayangnya kepada sang putri, akhirnya ia merelakan putrinya pergi menunaikan perintah Ki Sela cerita, Endang Sawitri menjalankan titah sang ayah untuk meminjam pusaka kepada sang Resi, sahabat ayahnya. Ia pergi menuju lereng Gunung Telomoyo tempat resi tersebut tinggal. Endang Sawitri menunggang seekor kuda yang terlatih melintasi jalan terjal berbatu dan ngarai yang elok. Sesekali ia mampir di sebuah sungai untuk melepas dahaga dan penat. Gejolak remajanya terkadang menggelegak menguasai dirinya. Keriangan alami yang tak dibuat-buat membuatnya begitu bahagia. Ia bermain riak-riak air sungai, sesekali berlarian di pinggir sungai mengejar kupu-kupu bersayap cantik, menangkap ikan dan katak 7yang ada di sungai, kemudian melepasnya kembali. Ia sangat menikmati perjalannya tersebut. Diam-diam ia sangat mengagumi pesona alam di desanya yang sungguh indah. Terselip rasa bangga dan kagum di dalam benaknya akan kepemimpinan ayahnya, Ki Sela Gondang yang telah memimpin Desa Ngasem yang elok itu. Terbesit di hatinya seuntai doa agar keadaan seperti itu akan terus berlangsung sehingga kebahagiaan akan terus melingkupi desa yang ia cintai. Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, tibalah Endang Sawitri di padepokan Ki Hajar Salokantara.“Sampurasun, ... permisi, Ki,” Endang Sawitri mengucap salam penuh takzim seraya mengetuk depan pintu gerbang padepokan. Belum ada jawaban dari dalam padepokan. Beberapa kali Endang Sawitri mengulangi ketukan dan salamnya. Belum juga ada jawaban. Untuk keenam kalinya Endang Sawitri mengulangi salam dan ketukan ke pintu gerbang padepokan, kali ini suaranya agak nyaring. Akhirnya, Endang Sawitri mendengar suara langkah dan jawaban dari dalam padepokan.“Rampes, ... tunggu sebentar, Ki Sanak,” sahut seorang laki-laki menjawab salam Endang gerbang berderit dan terbuka. Dengan mengulas senyum penuh hormat, Endang Sawitri 8membungkuk memberi hormat kepada lelaki yang membuka pintu gerbang padepokan itu. Tanpa menunggu lama, Endang Sawitri segera memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud kedatangannya ke padepokan Ki Hajar Salokantara. Lelaki bertubuh gempal dan berkulit hitam yang membuka pintu gerbang ternyata murid Ki Hajar Salokantara. Dengan sopan, lelaki tersebut mempersilakan Endang Sawitri masuk padepokan. Lelaki itu mempersilakan Endang Sawitri duduk di pendapa padepokan, sementara ia menuntun dan menambatkan kuda Endang Sawitri di tempat penambatan kuda tamu di padepokan itu. Endang Sawitri duduk dengan sopan di pendapa padepokan itu. Lelaki bertubuh gempal tadi berlari ke dalam sepertinya hendak memberitahukan kepada sang resi ada seorang tamu yang Sawitri memandang sekeliling pendapa yang terlihat cukup luas dan bersih tersebut. Terlihat gebyok kayu jati yang dihias ukiran menawan. Di sudut-sudut pendapa terlihat bokor-bokor yang terbuat dari kuningan dengan beberapa tombak yang runcing. Ada pula seperangkat gamelan tertata rapi di salah satu bagian pendapa itu. Endang Sawitri meyakini bahwa si pemilik padepokan pastilah orang sakti yang halus dan mencintai budaya. Bola mata cantiknya berputar-putar menjelajah seluruh isi di pendapa padepokan dengan 9senyum tipis tersungging di bibirnya. Dengan manggut-manggut ia bergumam.“Hmmmmm, pasti resi sahabat ayahanda ini adalah orang yang berbudaya tinggi dan bijaksana. Kalau tidak, mana mungkin pendapa padepokan serapi dan sebagus ini,” gumamnya sambil masih manggut-manggut dan menelisik semua sudut di pendapa selesai Endang Sawitri mengagumi pendapa padepokan milik Ki Hajar Salokantara, ia dikejutkan oleh kedatangan seorang lelaki bertubuh kurus dan berpakaian sorjan Jawa lengkap dengan ikat kepala berwarna hitam. “Silakan dinikmati teh dan makanannya, Kisanak. Mohon ditunggu sebentar. Eyang Guru baru dipanggil oleh Driya, teman saya,” kata lelaki itu sopan. Endang Sawitri terlihat kikuk karena kesopanan lelaki kurus yang merupakan juru masak di padepokan itu.“Iya, terima kasih, Kisanak,” jawab Endang Sawitri seraya duduk kembali di lantai pendapa. Sang juru masak menghidangkan seteko teh hangat dan makanan kepada Endang Sawitri. “Silakan, Kisanak,” kata sang juru masak sembari pamit hendak melanjutkan pekerjaannya di dapur. Beberapa saat kemudian, dari dalam padepokan muncullah seorang lelaki setengah baya yang bertubuh 10tinggi tegap, berjubah hitam, dan mengenakan ikat kepala berwarna hitam. Senyum penuh karisma milik lelaki berjenggot panjang yang berwarna putih itu membuat Endang Sawitri terkesiap dan bangkit memberi hormat.“Sampurasun, Ki. Perkenalkan, saya Endang Sawitri, putri dari Kepala Desa Ngasem,” hormat Endang Sawitri memberi salam.“Rampes, putri ayu. Rupanya putri Kakang Sela Gondang ini telah menjelma menjadi gadis yang cantik,” sambut lelaki yang tak lain adalah Ki Hajar Salokantara.“Ada angin apa Kakang Sela Gondang mengutusmu kemari, cah ayu?” tanya sang Resi penuh wibawa.“Tidak biasanya Kakang Sela Gondhang mengutus putrinya. Biasanya Kakang Sela mengutus perangkatnya ke sini,” lanjut sang resi sambil mengelus-elus jenggot putihnya.“Begini, Ki. Di Desa Ngasem akan diadakan merti desa. Ayahanda sebagai kepala desa memiliki niat mengadakan pesta rakyat. Sebagai salah satu syarat tolak bala, dibutuhkan sesaji dan ubarampe merti desa. Salah satunya adalah pusaka sakti milik Ki Hajar Salokantara. Untuk itu, ayahanda mengutus saya datang kemari untuk meminjam pusaka sakti tersebut,” jelas Endang Sawitri. Sang Resi manggut-manggut 11mendengarkan penjelasan gadis berkulit kuning langsat, berkemben biru, dan bersanggul kecil nan anggun di hadapannya itu. Setelah beberapa lama terdiam, sang resi masuk ke padepokan, sementara Endang Sawitri menunggu di pendapa sambil menikmati hidangan yang disajikan juru masak padepokan. Beberapa saat kemudian, sang Resi keluar lagi dengan membawa sebuah benda yang dibungkus dengan sarung berwarna cokelat yang 12sudah terlihat usang. Sang Resi menimang-nimang benda tersebut dengan saksama. Sejurus kemudian, ia membuka selubung kain usang tersebut. Ternyata, benda yang dibawanya adalah sebilah keris yang masih berwarangka. Dengan hati-hati sang Resi mencabut keris dari warangkanya.“Pusaka ini merupakan keris sakti yang memiliki nilai yang tinggi, Ni Ayu,” kata Ki Hajar sembari memegang dan mengamati keris pusakanya tersebut. Bola mata Endang Sawitri yang bulat keabu-abuan terbelalak takjub melihat keris yang dibawa sang Resi. Sungguh ia tidak mampu menyembunyikan ketakjubannya akan pusaka sakti yang terlihat kokoh tersebut. “Ni Ayu, keris ini bukanlah pusaka sembarangan. Kalau ayahandamu bukanlah sahabat baikku, tentu aku tidak akan pernah meminjamkan keris ini kepadanya,” lanjut sang Resi. Endang Sawitri masih terpana. “Bawalah pusaka ini kepada ayahandamu, Ni Ayu. Namun, ada hal penting yang harus kau perhatikan ketika membawa pusaka sakti ini,” kata sang Resi seraya memasukkan kembali keris ke dalam warangkanya. Keris itu kemudian diselubungi dengan kain cokelat yang usang. “Mohon maaf, apakah Ni Ayu, dalam keadaan suci?” tanya Ki Hajar Salokantara menyelidik. 13“Maksud Ki Hajar?” tanya Endang Sawitri terlihat kebingungan dengan pertanyaan sang Resi.“Apakah kau sedang datang bulan?” jelas Ki Hajar lagi.“Tidak, Ki. Saya masih dalam keadaan jiwa dan raga yang bersih,” jawab Endang Sawitri sembari menyungging senyum manisnya.“Syukurlah, kalau demikian. Bawalah pusaka ini dengan hati-hati. Ingatlah satu hal. Jangan sekali-kali meletakkan pusaka sakti ini di atas pangkuanmu,” kata sang Resi berpetuah seraya menyerahkan pusaka sakti kepada Endang Sawitri.“Baik, Ki. Amanat Ki Hajar Salokantara akan saya ingat dengan baik,” jawab Endang Sawitri berjongkok dan menunduk sambil mengulurkan kedua tangan menerima pusaka sakti menerima pusaka sakti yang dibutuhkan ayahandanya, Endang Sawitri berpamitan kepada Ki Hajar Salokantara. Dengan gesit ia menunggangi kuda, menarik tali kekangnya, dan memacu si kuda dengan sangat hati-hati. Dalam perjalanan pulang ke Desa Ngasem, Endang Sawitri merasa sangat lelah dan mengantuk. Setibanya di kaki gunung, ia memutuskan berhenti dan mencari tempat yang sejuk untuk melepas lelah dan kantuknya. 14Ia beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang. Angin semilir membuai Endang Sawitri hingga ia tertidur pulas. Karena merasa kelelahan, Endang Sawitri lupa akan pesan sang Resi. Ia meletakkan pusaka sakti itu di atas dalam tidurnya, ia bermimpi datang ke sebuah istana yang sangat megah. Tidak seperti lazimnya istana yang dijaga ketat, pintu gerbang istana terbuka sendiri seolah mempersilakannya masuk. Tidak ada penjaga berpakaian baja dan menghunus tombak di pintu gerbang, tidak ada sepasukan penjaga yang siap menginterogasi penyelundup yang masuk, bahkan tidak ada prajurit yang lalu-lalang melakukan penjagaan ketat di istana nan megah itu. Endang Sawitri sangat takjub melihat pemandangan di dalam istana itu. Ada kolam ikan yang dihiasi air mancur dan bunga warna-warni, ada sebuah taman dengan beraneka macam permainan, bahkan di sudut istana ada beberapa ekor kuda bersayap yang berwarna putih bersih. “Tempat apa ini?” gumamnya dalam hati. Ia sangat terpukau tatkala langkah kakinya menuju ke arah dalam istana itu. Terdapat sebuah singgasana besar bertatahkan emas dan permata. Balairung luas berkilauan dihiasi kristal-kristal mutu manikam, sebuah permadani tebal, bersih, empuk berwarna merah 15terhampar di sepanjang jalan menuju singgasana tersebut. Namun, anehnya, mengapa tidak ada satu pun orang di tempat itu. Hanya gemericik air di kolam dan cicit burung bersahut-sahutan diiringi syahdunya suasana di istana itu. Tidak beberapa lama, ia dikejutkan oleh tepukan lembut di pundak kirinya. Ia menoleh pelan dengan sedikit gemetar. Alangkah terpukaunya ia melihat seorang lelaki berparas tampan di depannya. Tanpa bicara, lelaki tampan tersebut memberikan sebilah keris kepada Endang Sawitri. Tiba-tiba sosok lelaki tampan itu hilang bagai ditelan bumi. Endang Sawitri masih sangat bingung dengan kejadian yang baru saja dialaminya. Ia mencari-cari sosok pemuda tampan yang memberinya sebilah keris itu di seluruh sudut balairung istana, tetapi sosok tersebut tidak ada. Endang Sawitri memandangi keris yang kini dipegangnya dengan perasaan gundah dan tangan bergetar. Belum hilang keterkejutannya, Endang Sawitri terbangun dari tidurnya. “Aduhai, ternyata aku hanya bermimpi,” gumamnya sambil tersenyum. Gemeresik dedaunan di kaki Gunung Telomoyo bagai alunan harmoni indah yang mampu membangkitkan semangatnya melanjutkan kembali perjalanan pulang ke Desa Ngasem. Namun, alangkah terkejut ia ketika mendapati pusaka sakti yang dipinjam 16dari Ki Hajar Salokantara raib. Ia cari di sekitar tempatnya beristirahat bahkan di balik pelana kudanya, tetapi pusaka itu tidak ada. Ia baru teringat bahwa ia telah melanggar amanah dari sang Resi. Ia meletakkan pusaka sakti itu di atas pangkuannya. Endang Sawitri dilanda rasa gundah dan dilema. Ia merasa sangat bingung apa yang harus dilakukan. Kalau ia kembali ke padepokan, tentu sang Resi akan sangat marah karena ia melalaikan pesan sang Resi. Kalau memutuskan kembali ke Desa Ngasem, ia tidak tahu bagaimana dengan acara merti desanya dan sedekah bumi itu. “Ya, Dewata, Sang Hyang Widi Wasa, alangkah cerobohnya aku. Aku lalai, ya, Dewata,” rutuknya menyesali kelalaiannya sembari menangis tersedu-sedu.“Mungkin inilah jawaban dari keraguan Ibunda kepadaku,” katanya lagi merutuki nasibnya.“Namun, aku harus bertanggung jawab atas apa yang aku lakukan. Aku harus menyampaikan hal ini kepada Ayahanda. Apa pun yang terjadi aku harus pulang,” lanjutnya sambil menuntun kudanya melewati tegalan. Dengan hati gundah dan langkah gontai ia akhirnya memutuskan pulang ke Desa Ngasem. Ia akan menceritakan pengalamannya tersebut dan siap dengan 17segala kemungkinan yang akan dihadapinya, termasuk kemarahan di Desa Ngasem, Endang Sawitri disambut oleh warga desa dan kedua orang tuanya, Ki Sela Gondhang dan Nyi Mentik Bestari. Betapa bingung kedua orang tua Endang Sawitri tatkala mendapati sang putri bersimpuh seraya menangis tersedu-sedu di kaki mereka. Mereka berdua memapah sang putri ke serambi balai Desa Ngasem dibantu warga desa. Endang Sawitri masih terus menangis. Dengan sabar Nyi Mentik Bestari memeluk dan mengelus rambut putri semata wayangnya itu. Setelah tangis Endang Sawitri reda, Ki Sela Gondhang menanyai putrinya itu dengan hati-hati.“Nduk, cah ayu, apa gerangan yang membuatmu seperti ini? Bagaimana perjalananmu meminjam pusaka dari sahabat ayah, Ki Hajar Salokantara?” tanya Ki Sela Gondhang seraya mengelus pipi sang putri penuh kasih sayang. “Am ... ampun, Ayah. Sa ... sa ... saya ... lalai,” jawab Endang terbata-bata. Sang ibu kembali memeluk Endang Sawitri. Hal ini membuat Endang Sawitri menjadi lebih tenang. “Sudahlah, Nduk. Semua ini kehendak Sang Dewata. Pantas saja ibu merasa khawatir dengan 18keberangkatanmu ini,” kata sang ibu sembari membelai rambut sang merasa lebih tenang, Endang Sawitri mulai menceritakan semua peristiwa yang dialaminya termasuk mimpinya kepada sang ayah. Kekecewan Ki Sela Gondhang tidak dapat disembunyikan. Akan tetapi, rasa sayang terhadap sang putri mengalahkan rasa kecewa yang berkecamuk itu. Dengan bijaksana Ki Sela Gondhang berkata untuk menenangkan sang putri.“Sudahlah, anakku. Semua sudah takdir dari Sang Hyang Widi Wasa. Sekarang beristirahatlah, ayah akan menemui Ki Hajar Salokantara untuk mencari jalan keluar dari masalah ini,” kata Ki Sela Gondhang dengan tatapan sayang kepada sang putri.“Lalu, bagaimana dengan merti desa, Ayah?” tanya Endang Sawitri gundah.“Kau tidak usah risau memikirkan hal itu, Nak. Biarkan ayah yang menjelaskan kepada warga desa untuk menunda pesta rakyat desa kita ini,” tukas sang ayah seraya membelai rambut Endang Sawitri yang masih memeluk erat sang ibu. Hari itu juga Ki Sela Gondhang berangkat menuju padepokan Ki Hajar Salokantara untuk mendapatkan jalan keluar. Singkat cerita, sang Resi hanya terdiam sejenak mendengar penuturan ayah Endang Sawitri itu. 19Ia berkata bahwa sebentar lagi Endang Sawitri akan akan mengandung. “Sahabatku, adhi Sela Gondang. Aku sudah mengingatkan putrimu untuk menjaga baik-baik keris itu. Namun, mungkin ini memanglah takdir dari Sang Dewata,” dengus Ki Hajar Salokantara sembari mengelus-elus jenggotnya yang sudah memutih.“Iya, Kakang Salokantara. Aku tahu putriku lalai akan pesanmu. Aku mohon maafkanlah ia, Kakang,” sergah Ki Sela Gondang.“Adhi Sela Gondang, aku sudah memaafkan putrimu. Sebenarnya ...,” kata sang Resi terputus sambil menghela napasnya panjang.“Sebenarnya apa, Kakang?” tanya Ki Sela Gondang seolah tidak sabar mengetahui kelanjutan ucapan Ki Hajar Salokantara.“Sebenarnya, pusaka itu tidak hilang, tetapi masuk ke dalam rahim putrimu. Sebentar lagi putrimu akan mengandung, Adhi,” jawab Ki Hajar disambar petir di siang hari, Ki Sela Gondhang terkejut luar biasa mendengar ucapan Ki Hajar Salokantara tersebut. Dengan panik ia memohon sahabatnya tersebut untuk mencarikan jalan keluar agar keluarganya terhindar dari aib. 20“Ya, Dewata, dosa apa hamba ini sampai harus menanggung malu semacam ini?” jerit Ki Sela Gondang sambil memegangi kepalanya.“Kakang Salokantara, apakah ada cara agar putriku lepas dari kutukan ini?” tanya Ki Sela Gondang panik. “Kakang, tolonglah, Kakang. Apa yang harus aku lakukan untuk menyelamatkan putri dan keluargaku dari aib, Kakang?” kata Ki Sela Gondang setengah merengek. Ki Hajar Salokantara hanya menggelengkan kepalanya. Ia merasa iba kepada sahabatnya itu. Namun, ia tidak dapat membantu apa lelaki yang bersahabat lama itu sama-sama terdiam. Tenggelam dengan pikiran mereka masing-masing. Tiba-tiba Ki Sela Gondang berkata, ”Kakang, bagaimana jikalau engkau menikahi putriku, Endang Sawitri? Siapa tahu kutuk yang bersemayam di tubuhnya akan hilang,” kata Ki Sela Gondang menatap Ki Hajar Salokantara penuh Hajar Salokantara diam sejenak. Ki Sela Gondang terus membujuk sang sahabat agar mau mengiyakan gagasannya untuk menikahi Endang Sawitri. Karena melihat kepanikan Ki Sela Gondang yang teramat sangat, akhirnya Ki Hajar Salokantara bersedia menikahi Endang Sawitri. Pernikahan mereka sengaja ditutupi dari penduduk desa. “Baiklah, adhi Sela Gondang. Aku 21bersedia menikahi putrimu. Akan tetapi, pernikahan ini hanyalah untuk menutupi aib saja. Setelah janin di dalam kandungan putrimu lahir, pernikahan ini berakhir,” kata Ki Hajar Salokantara. “Terserah kau saja, Kakang,” tukas Ki Sela Gondang. “Terima kasih, kau sudah mau membantuku, Kakang,” lanjut Ki Sela lagi. Singkat cerita, pernikahan Ki Hajar Salokantara dan Endang Sawitri sengaja ditutupi dari penduduk desa. Tidak ada meriahnya pesta dan beraneka macam tarian serta hiburan. Pernikahan itu berlangsung khidmat dan mengharukan. Nyai Sela Gondang menangis tidak kuasa menahan sedih dan haru. Ia peluk putrinya yang telah sah menjadi istri Ki Hajar Salokantara. Endang Sawitri pun menangis tersedu-sedu di hadapan penghulu dan kedua orang tuanya.“Maafkan saya, Ayahanda dan Ibu,” isak Endang Sawitri.“Sudahlah, Nak. Sekarang kau telah menjadi istri Ki Hajar Salokantara. Kau harus mengikuti suamimu dan menaati perintahnya,” belai sang ibu dengan berjuta kasih sayang yang itu, Ki Hajar Salokantara dan Ki Sela Gondang terlibat pembicaraan di sudut lain rumah Ki Sela Gondang. 22“Adhi, kau jangan khawatir. Meskipun putrimu telah menjadi istriku, aku tidak akan menyentuhnya. Namun, aku akan tetap menyayanginya,” kata Ki Hajar Salokantara.“Aku pasrahkan putriku kepadamu, Kakang,” jawab Ki Sela Gondang menepuk pundak Ki Hajar Salokantara.“Maafkan aku, Adhi. Mungkin setelah kuboyong ke tempat tinggal yang sudah kusiapkan, aku akan meninggalkan putrimu dan janin yang di kandungnya untuk bertapa. Aku akan memohon Sang Hyang Widi Wasa melepaskan kutukan itu,” tukas Ki Hajar Salokantara.“Sudahlah, Kakang. Aku tidak tahu harus berterima kasih seperti apa kepadamu atas segala kebaikanmu padaku dan keluargaku,” jawab Ki Sela Gondang sambil memeluk sahabat lama yang kini harus menjadi menantunya tersebut. Setelah acara pernikahan usai, Ki Hajar Salokantara berniat memboyong Endang Sawitri ke sebuah tempat yang sudah dipersiapkan sebagai tempat tinggal. Dengan perasaan hancur, Nyi Mentik Bestari melepas kepergian putri kesayangannya diboyong oleh Ki Hajar Salokantara. Tidak seperti pasangan lain yang baru saja menikah, Ki Hajar Salokantara memutuskan untuk pergi bertapa mencoba melepaskan Endang Sawitri dari 24kutukan pusaka sakti miliknya. Sebelum pergi, Ki Hajar Salokantara berpesan kepada istrinya. “Ni Ayu Endang Sawitri, aku menikahimu hanya sebagai syarat saja, aku tidak akan menyentuhmu. Aku harus pergi bertapa untuk melepaskanmu dari kutuk pusaka sakti milikku itu. Jagalah dirimu dan kandunganmu. Apabila kelak kau melahirkan, kalungkanlah klinthingan ini sebagai bukti bahwa anak itu adalah anakmu. Suruhlah ia mencariku untuk melepaskan kutukannya,” pesan Ki Hajar Salokantara kepada Endang Sawitri.“Iya, Ki. Semoga Dewata melindungi Ki Hajar, saya, dan jabang bayi dalam kandungan saya ini. Hati-hati, Ki,” jawab Endang Sawitri mencium tangan suaminya dan melepas kepergiannya untuk bertapa.***Hari demi hari berlalu dengan cepat, kandungan Endang Sawitri pun bertambah besar. Ia sangat berhati-hati menjaga kandungannya itu. Ia menggantungkan hidupnya dari hasil mencari ikan di sungai dan bertanam sayur-mayur di pekarangan gubuknya. Dekat dengan gubuk tempat tinggalnya itu terdapat sebuah desa kecil yang jumlah penduduknya tidak seberapa. Untuk 25memenuhi kebutuhan hidupnya, tidak jarang Endang Sawitri pergi ke desa ada satu pun penduduk desa kecil itu mengetahui bahwa Endang Sawitri memiliki seorang suami karena pernikahan mereka ditutup-tutupi. Namun, ada salah seorang penduduk desa yang mengenali Endang Sawitri yang sedang hamil tua itu. Akhirnya, sampailah kabar kehamilan Endang Sawitri tersebut ke Desa Ngasem. Penduduk Desa Ngasem pun geger karena mendengar kabar tersebut. Mereka menganggap Endang Sawitri telah mengotori Desa Ngasem dengan perbuatan yang tidak senonoh. Namun, Endang Sawitri bergeming dengan umpatan para penduduk yang penuh kata-kata kasar. Ia tetap merawat kandungannya meskipun pada akhirnya ia dikucilkan oleh warga Desa Ngasem dan desa kecil di dekat tempat tinggalnya. Ia berkeyakinan tidak pernah melakukan perbuatan yang tidak baik. Yang membuatnya risau adalah nama baik kedua orang tuanya yang merupakan tetua di Desa Ngasem. Namun, persoalan itu tidak berlangsung lama karena Ki Sela Gondhang berhasil menjelaskan kepada penduduk tentang keadaan yang setelah sembilan bulan mengandung, Endang Sawitri pun melahirkan. Tidak ada seorang 26pun di desa kecil di dekat tempat tinggalnya yang sudi menolongnya. Para penduduk desa masih menganggap Endang Sawitri merupakan perempuan yang tidak baik karena hamil tanpa didampingi suami. Mereka masih tidak memercayai penjelasan Ki Sela Gondhang, Kepala Desa Ngasem yang tak lain adalah ayah kandung Endang Sawitri. Tidak ada satu pun warga desa yang mengabarkan berita melahirkannya Endang Sawitri kepada warga Desa Ngasem, terlebih kepada keluarga Ki Sela Gondhang. Endang Sawitri pun melahirkan tanpa bantuan siapa pun. Namun, alangkah terkejut ia karena yang dilahirkannya bukanlah bayi, melainkan seekor ular naga. Anehnya lagi, ular naga itu dapat berbicara seperti halnya manusia. “Aaah, siapa kau? Mengapa aku melahirkan seekor ular naga?” teriak Endang Sawitri.“Ibu, ibu jangan takut. Aku adalah anak yang kaulahirkan. Ini kehendak Dewata, Ibu. Saya mohon Ibu jangan takut,” jawab ular naga itu sembari menyurukkan tubuhya kepada Endang Sawitri. Meskipun terkejut dan hatinya remuk redam, dengan belai lembut seorang ibu, Endang Sawitri menimang anaknya yang berwujud ular naga itu. Bayi ular naga itu pun diberi nama Baro Klinting. 27“Iya, engkau benar. Mungkin ini adalah ketentuan sang Dewata karena kelalaian ibu. Maafkan, ibu, Nak. Ibu teringat pesan ayahandamu yang menitipkan klinthingan ada ibu. Untuk itu, ibu namakan kau Baro Klinting,” kata Endang Sawitri penuh lahirnya anak Endang Sawitri diketahui oleh beberapa penduduk desa yang kebetulan lewat di gubuk Endang Sawitri ketika hendak pergi ke sawah dan ladang. Ketika mendapati anak yang dilahirkan Endang Sawitri adalah seekor naga, sontak saja beberapa orang penduduk itu berlarian karena takut.“Tolooong, ada naga. Perempuan itu melahirkan naga. Tolooong,” teriak orang-orang itu berlarian menuju ke desa. Teriakan orang-orang itu didengar oleh seluruh penduduk di desa dekat gubuk Endang Sawitri.“Hati-hati, perempuan itu pasti penyihir. Ia melahirkan seekor naga. Desa kita dalam bahaya,” kata salah seorang penduduk.“Iya, ini genting. Kita usir saja perempuan itu dari desa ini. Saya takut kalau desa ini akan dihancurkan oleh perempuan penyihir dan naga yang dilahirkannya itu,” sahut yang lain.“Iya, kita usir saja perempuan itu, usiiirr,” teriak penduduk desa yang lain bersahutan. 28Peristiwa itu dianggap peristiwa aneh yang menjadi ancaman bagi penduduk desa. Para penduduk desa kecil di dekat tempat tinggalnya makin mencibir Endang Sawitri. Mereka makin yakin kalau Endang Sawitri adalah perempuan yang tidak baik. Mereka bersepakat hendak mengusir Endang Sawitri dan anaknya yang berwujud ular naga itu karena khawatir keberadaan mereka akan mengundang murka Dewata. Namun, untungnya hal tersebut berhasil dicegah oleh salah seorang penduduk desa yang mengenal Ki Sela Gondhang. Orang itu meyakini bahwa keberadaan Endang Sawitri dan anaknya tidak akan membahayakan. Ia akan menjamin jika terjadi apa-apa, ia yang akan melapor kepada Ki Sela Gondhang, ayah Endang akhirnya Endang Sawitri membesarkan anaknya dengan penuh kasih sayang meskipun sendirian tanpa ada orang yang sudi membantu. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun. Waktu terus berjalan, Baro Klinting yang sudah menginjak masa remaja bertanya kepada ibunya, apakah ia mempunyai ayah. “Ibu, apakah aku memiliki ayah?” tanya Baro Klinting penuh tanya. Endang Sawitri menjawab dengan deraian air mata. “Tentu, Nak,” jawabnya sembari menyeka pipi yang dibanjiri oleh air mata yang mulai menganak sungai. 29“Lalu, di mana ayah sekarang? Mengapa ayah tidak tinggal dengan kita, Bu?” cecar Baro Klinting.“Baro Klinting, Anakku. Dengarlah, Nak. Ayahmu adalah seorang lelaki hebat dan sakti. Kini ayahmu sedang bertapa di Gunung Telomoyo untuk melepaskan kita dari kutuk pusaka, Nak,” jelas Endang Sawitri seraya menunjuk arah Gunung Telomoyo tempat Ki Hajar Salokantara bertapa. Baro Klinting mengernyitkan sepasang alisnya yang tebal. Dengan didorong rasa penasaran yang amat sangat dan jutaan tanya berjejal di kepalanya, ia melata melingkari tubuh ibunya.“Kutuk pusaka? Maksud Ibu apa?” selidik Baro Klinting.“Nanti, kau akan mengerti jika waktunya telah tiba, Anakku,” jawab sang ibu seraya memeluk anaknya yang berwujud ular naga Klinting tidak melanjutkan pertanyaannya pada sang ibu. Ia tidak ingin membuat ibunya makin sedih. Namun, rasa penasaran di dalam benaknya sungguh kuat sehingga akhirnya ia menyatakan keinginannya untuk mencari sosok sang ayah. Dengan hati-hati ia berkata kepada ibunya.“Ibu, bolehkah Baro memohon izin kepada Ibu untuk mencari ayahanda?” tanya Baro Klinting. 30Endang Sawitri memandang lekat-lekat mata naga di hadapannya. Ia terdiam sesaat, lalu menunduk.“Ibu tidak mengizinkan Baro?” tanya Baro Klinting lagi dengan hati-hati. Ia sangat takut melukai perasaan perempuan yang telah melahirkannya itu. Endang Sawitri mendengus panjang dan berucap dengan lembut.“Pergilah, Nak. Ibu mengizinkanmu. Kau sudah cukup besar untuk melakukan perjalanan mencari ayahmu. Akan tetapi, ingatlah untuk selalu waspada dan berhati-hati. Di luar sana banyak sekali bahaya yang bisa saja mencelakaimu, Anakku,” kata Endang Sawitri sembari mengelus kepala naga itu.“Terima kasih, Ibu. Baro akan selalu mengingat pesan Ibu,” sahut Baro Klinting gembira.“Baro, berangkatlah ketika hari sudah gelap agar keberadaanmu tidak membuat warga desa itu ketakutan. Pakailah klinthingan ini sebagai bekalmu, Nak,” kata Endang Sawitri sembari mengalungkan kalung berliontin lonceng kecil yang berbunyi nyaring apabila digoyang-goyangkan.“Ampun, Ibu. Untuk apa klinthingan ini?” tanya Baro Klinting penasaran.“Klinthingan ini adalah amanat dari ayahmu, Nak. Beliau berpesan agar mengalungkan benda ini di 31lehermu sebagai penanda bahwa kau benar-benar anak ibu,” tukas Endang Sawitri. “Semoga Sang Hyang Widi Wasa senantiasa menyertai perjalananmu, Nak. Ingat pesan ibu,” lanjutnya lagi. 32“Baik, Ibu. Pesan Ibu akan Baro laksanakan. Doakan Baro dapat bertemu dengan ayahanda,” ujar Baro Klinting Baro Klinting tidak tega meninggalkan sang ibu sendirian di gubuk itu. Namun, rasa penasaran akan sosok sang ayah membuatnya bertekad bulat untuk pergi mencari ayahnya tersebut. Dengan hati sedih Baro Klinting berangkat meninggalkan ibunya menuju ke pertapaan Ki Hajar Salokantara, yaitu sebuah gua di lereng Gunung Telomoyo. Ia berangkat ketika hari sudah gelap. Dengan penuh semangat Baro Klinting melata melewati jalan terjal yang penuh aral dan perjalanannya Baro Klinting sempat bertemu beberapa halangan. Banyak sekali makhluk astral yang mengganggunya. Suara klintingan di leher Baro Klinting rupanya menarik perhatian para makhluk untuk mengganggunya. Para makhluk itu berusaha merebut klinthingan tersebut. Namun, dengan kesaktian yang menitis padanya, Baro Klinting sanggup mengusir dan mengalahkan para makhluk yang mencoba menghambat perjalanannya. Ia selalu teringat pesan ibunya untuk selalu ingat pada Dewata, pemilik alam semesta. Ia yakin doa sang Ibu adalah senjata terampuh untuk keselamatannya. 33Setelah melalui perjalanan yang melelahkan, sampailah Baro Klinting di tempat yang dimaksud oleh ibunya. Ia melihat sebuah gua yang mulutnya tertutup rimbunan tanaman menjalar. Dengan hati-hati Baro Klinting menerobos masuk ke dalam gua yang gelap dan lembap itu. Dengan sorot matanya yang tajam ia selusuri semua relung yang ada di dalam gua tersebut. Tetesan air yang mengalir dari dinding gua mencipta sebuah denting yang indah. Ornamen gua berupa stalaktit dan stalakmit menambah kemegahan isi gua. Baro Klinting terus menerobos masuk ke dalam gua dan akhirnya ia mendapati sebuah ruang yang agak luas. Di tengahnya terdapat sebuah batu besar yang dikelilingi genangan air. Samar-samar ia melihat sesosok manusia yang sedang duduk bertapa dengan sikap semadi yang sempurna di atas batu besar itu. Ia terus melata mengamati sosok tersebut dengan saksama. Setelah beberapa lama mengamati, Baro Klinting yakin sosok tersebut adalah Ki Hajar Salokantara, santun dan penuh hormat, Baro Klinting mengucapkan salam. “Permisi, sampurasun, apakah benar ini tempat pertapaan Ki Hajar Salokantara?” tanya Baro Klinting dengan sangat hati-hati. Lama tidak terdengar jawaban. Baro Klinting mengulangi kembali salamnya 34dengan hati-hati. Tidak lama kemudian sosok tersebut menjawab, “Ya, benar, akulah Ki Hajar Salokantara. Siapa Ki Sanak ini? Ada perlu apa Ki Sanak datang ke tempat ini dan mengganggu semadiku?” tanya Ki Hajar Salokantara dengan suara berat penuh kewibawaan.. Betapa girang hati Baro Klinting mendapati sosok yang selama ini dirindukannya. Dengan sembah sujud di hadapan Ki Hajar Salokantara, Baro Klinting berkata, “Ampun, Tuan, saya Baro Klinting, anak Endang Sawitri dari Desa Ngasem” jawab Baro Klinting.“Desa Ngasem? Endang Sawitri? Mungkinkah ia ini anakku?” gumam Ki Hajar Salokantara. Perlahan Ki Hajar Salokantara membuka matanya dan menatap Baro Klinting. Alangkah terkejutnya Ki Hajar karena yang sedang berada di hadapannya adalah seekor ular naga. Belum hilang keterkejutan Ki Hajar Salokantara, Baro Klinting berujar bahwa ia sedang mencari ayah kandungnya yang sedang bertapa. Awalnya, Ki Hajar ragu. Akan tetapi, dengan bukti klinthingan yang dipakai Baro Klinting, Ki Hajar dapat mengenali bahwa ular naga itu mungkin benar anaknya. Namun, dia masih menaruh curiga terhadap ular naga yang mengaku sebagai anak Endang Sawitri, jelmaan pusaka sakti miliknya. Ki Hajar menghendaki bukti satu 35lagi kalau memang ular itu benar-benar anaknya. Ia menyuruh Baro Klinting melingkari Gunung Telomoyo.“Baik, aku mengenali klinthingan yang ada di lehermu itu. Mungkin kau memang benar anak Endang Sawitri. Namun, aku menghendaki satu bukti lagi agar aku yakin bahwa kau tidak berbohong,” tukas Ki Hajar Salokantara kepada Baro Klinting. 36“Bukti apa yang harus saya tunjukkan agar Ayah yakin bahwa saya ini adalah anak Ayah?” tanya Baro Klinting heran.“Aku ingin engkau melingkari Gunung Telomoyo ini dengan tubuhmu. Apabila engkau sanggup melingkarinya berarti engkau memanglah anakku. Akan tetapi, jika kau gagal melingkari Gunung Telomoyo ini berarti kau adalah pendusta,” lanjut Ki Hajar Salokantara lagi. “Baik, titah Ayah akan saya laksanakan,” jawab Baro Klinting cerita, demi membuktikan bahwa apa yang dikatakannya benar, Baro Klinting bergegas menuju kaki Gunung Telomoyo. Ia berusaha sekeras mungkin untuk dapat melilit kaki gunung dengan tubuhnya. Namun, hampir saja ekor dan kepalanya tidak dapat menyatu. Baro Klinting mulai panik, tetapi ia tidak kehilangan akal. Ia menjulurkan lidahnya hingga menyentuh ekornya. Dengan izin sang Dewata, Baro Klinting dapat melingkari Gunung Telomoyo sesuai permintaan Ki Hajar Salokantara. Akhirnya, Ki Hajar mengakui Baro Klinting sebagai anak kandungnya yang selama ini ditinggalkannya Hajar Salokantara kemudian memerintahkan Baro Klinting untuk bertapa dengan cara melingkarkan tubuhnya pada Gunung Telomoyo. Hal itu dilakukan 38agar kutuk ular naga yang disandang anaknya dapat segera hilang dan Baro Klinting dapat berubah wujud menjadi manusia seutuhnya. Dengan penuh kepatuhan, Baro Klinting menuruti perintah ayah kandung yang telah lama dirindukannya.***Di belahan lain lereng Gunung Telomoyo terdapat sebuah desa yang bernama Desa Pathok. Suatu hari penduduk Desa Pathok, desa di kaki Gunung Telomoyo, akan mengadakan pesta sedekah bumi setelah panen usai. Mereka akan mengadakan pertunjukkan berbagai macam tarian. Untuk memeriahkan pesta itu, para pemuda desa beramai-ramai mencari daging binatang di hutan. Daging itu nantinya dimasak dan dijadikan santapan pesta. Namun, mereka tidak mendapatkan seekor binatang pun di hutan. Karena merasa kesal dan putus asa, mereka memutuskan untuk kembali ke desa. Dalam perjalanan pulang, mereka beristirahat di kaki Gunung Telomoyo itu. Salah seorang dari rombongan pemuda desa itu menancapkan golok ke tanah tebing di sekitar tempat mereka melepas lelah. Alangkah terkejutnya pemuda itu karena dari tanah yang ditancapi golok itu keluar darah segar. Kejadian itu 39sontak membuat rombongan itu panik. Namun, karena penasaran, mereka juga menancapkan golok masing-masing ke tanah yang mengeluarkan darah tersebut. Ternyata, tanah tebing yang mereka tancapi golok adalah tubuh seekor ular naga yang sedang melilit kaki Gunung Telomoyo. Pucuk dicinta ulam pun tiba, para pemuda merasa gembira karena telah menemukan daging binatang untuk dijadikan santapan pesta rakyat di Desa Pathok. Singkat cerita, pesta panen rakyat pun digelar. Daging ular yang dibawa para pemuda sudah menjadi aneka hidangan di pesta itu. Penduduk desa bersorak-sorai, berdendang, dan menari diiringi musik tradisional yang gegap gempita. Di tengah-tengah acara pesta itu, tiba-tiba datanglah seorang anak laki-laki yang tidak lain merupakan jelmaan Baro Klinting. Anak laki-laki itu berumur sekitar sepuluh tahun. Ia tampak kumal dan memiliki luka di sekujur tubuh dengan bau yang sangat tajam dan amis. Anak itu meminta makanan kepada penduduk desa. Namun, tak seorang pun memberinya makanan atau air minum. Mereka malah mengusirnya dan mencaci-maki anak tersebut. Namun, anak itu bergeming dan tetap memaksa meminta makanan dan 40minuman pada penduduk desa yang sedang berpesta anak itu disuruh keluar dari arena pesta itu. Dengan menangis dan sakit hati yang teramat sangat, anak itu pergi meninggalkan pesta. Ia berjalan tanpa tujuan sambil terus menangis. Akhirnya ia tiba di sebuah gubuk yang ternyata rumah seorang janda tua bernama Nyai Latung. Di depan rumah reyot itu Nyai Latung sedang menumbuk padi dengan lesung. “Nenek!” panggil anak itu. “Saya haus. Boleh minta air, Nek?” Nyai Latung memandang anak laki-laki kumal yang berdiri di hadapannya. Ketika Nyai Latung melihat keadaan anak yang menangis dengan tubuh penuh kudis dan berbau amis, hati Nyai Latung merasa iba. Segera Nyai Latung masuk ke dalam rumahnya seraya mengambil air untuk anak itu. “Ini, Nak, airnya. Minumlah!” kata Nyai Latung lembut. Dengan cepat anak itu meneguk air minum. Nyai Latung terus memandangi anak itu dengan iba. “Mau air lagi? Apakah kau lapar, Nak? Tetapi, Nenek hanya punya nasi, tidak ada lauk,” tanya Nyai Latung.“Mau, Nek. Nasi saja sudah cukup. Saya lapar,” sahut anak itu. 41Nyai Latung bergegas masuk lagi ke dalam rumah dan mengambilkan nasi disertai sisa sayur yang ada. Ia juga mengambilkan air lagi untuk anak itu. Anak kecil itu makan dengan lahap hingga tidak sebutir nasi pun tersisa.“Siapa namamu, Nak? Di mana ayah ibumu?” tanya Nyai Latung sembari duduk mendekati anak itu.“Namaku Baro Klinting, Nek. Aku tidak tahu di mana ayah dan ibuku berada,” jawab Baro Klinting.“Ya, Dewata. Kalau begitu, kau tinggal saja di sini menemani nenek,” ajak Nyai Latung lagi.“Terima kasih, Nek. Saya pergi saja. Orang-orang di sini jahat, Nek. Hanya Nenek saja yang baik hati kepada saya.”Baro Klinting kemudian bercerita tentang warga desa yang tidak ramah kepadanya. Setelah menceritakan semua pengalaman yang tidak mengenakkan tersebut, Baro Klinting pun pamit. Sebelum pergi, ia berpesan kepada Nyai Latung agar ketika mendengar bunyi kentongan, Nyai Latung naik ke atas lesung. “Nek, nanti jika nenek mendengar suara kentongan, nenek naiklah ke atas lesung itu. Nenek akan selamat,” kata Baro Klinting sambil menunjuk lesung yang ada di depan rumah Nyai Latung. Meskipun tidak mengerti maksud Baro Klinting, Nyai Latung mengiyakan saja. 43Sesaat kemudian, Baro Klinting berlari dari rumah Nyai Latung dan kembali ke keramaian pesta. Ia mencoba lagi untuk meminta hidangan dalam pesta yang diadakan oleh penduduk Desa Pathok. Namun, penduduk tetap menolak kehadiran anak itu. Baro Klinting yang marah berlari ke tengah-tengah arena pesta. Ia berdiri berkacak pinggang dan mengadakan sayembara. Ia menancapkan sebatang lidi ke tanah. Ia menantang barang siapa dapat mencabut lidi itu, ia adalah orang hebat. “Ayo, ... siapa yang bisa mencabut lidi ini?” tantang Baro orang menertawakan Baro Klinting. Mereka mengejek dan menganggap anak kecil itu sudah gila. “Ayo, ... siapa yang bisa mencabut lidi ini?” kembali Baro Klinting menantang penduduk desa. Penduduk desa makin marah dengan kelakuan Baro Klinting. Mereka hanya ingin Baro Klinting pergi dari desa mereka. Seorang lelaki tinggi besar maju menjadi orang pertama yang menerima tantangan Baro Klinting. Dengan badan besar yang kuat ia berusaha mencabut lidi yang tertancap. Namun, lidi itu tidak dapat tercabut. Justru lelaki itu terlempar hingga keluar dari arena pesta tempat lidi itu tertancap. 44Semua orang yang berkerumun di tempat Baro Klinting menancapkan lidi terperangah dengan kejadian tersebut. Mereka tidak habis pikir, bagaimana mungkin lelaki bertubuh tinggi besar itu tidak sanggup mencabut lidi yang ringkih itu. Ajaib sekali lidi itu, pikir orang-orang tersebut.“Hai, kalian semua, lihatlah, kalian itu orang-orang yang sombong, tetapi tidak punya tenaga!” teriak Baro Klinting setelah melihat lelaki berbadan tinggi besar tidak mampu mencabut lidi yang penduduk desa merasa diremehkan. Mereka makin gusar pada anak kecil bertubuh kurus dan kumal itu. Seorang lelaki tinggi dan berkulit hitam legam maju ke arena dan berteriak garang.“Jangan meremehkan kami, anak dekil! Lihat ini, akan kucabut lidi itu dan kupatahkan di depanmu,” sentak lelaki itu sembari membelalakkan matanya kepada Baro Klinting yang berdiri berkacak pinggang.“Tidak usah banyak bicara. Lakukan saja kalau kau mampu,” tantang Baro Kinting tak kalah kejadian yang sama pun menimpa lelaki tersebut. Tubuh kurusnya terpental jauh keluar dari arena penancapan batang lidi itu. Satu per satu penduduk desa mencoba mencabut lidi yang ditancapkan oleh Baro Klinting. Makin mereka berusaha, lidi itu 46makin kuat tertancap di tanah. Tak ada yang berhasil mencabutnya. Mereka pun mengumpulkan penduduk yang berbadan lebih besar. Bersama-sama mereka mencoba mencabut. Akan tetapi, usaha mereka tetap tidak berhasil. “Kemampuan kalian tidak sebanding dengan kesombongan kalian!” ujar Baro Klinting menyaksikan kejadian itu. “Kalian akan membayar mahal kesombongan kalian!” lanjutnya dengan geram. “Perhatikan baik-baik ini!”Akhirnya, Baro Klinting berjalan mendekat ke batang lidi yang ia tancapkan tadi. Para penduduk desa mendekat. Mereka penasaran dengan apa yang akan terjadi. Mata Baro Klinting mengamati satu per satu penduduk yang mengerumuninya. Kemudian, ia memegang perlahan lidi yang tertancap kuat di tanah tersebut. Alangkah herannya penduduk desa. Hanya dengan menggunakan satu tangan, Baro Klinting perlahan dapat mencabut lidi, lalu keajaiban pun terjadi. Lubang bekas tancapan lidi tersebut menyemburkan air yang sangat deras. Semburan air makin lama makin deras dan menjadi air bah yang besar. Sontak kejadian itu membuat penduduk desa panik. Beberapa orang memukul kentongan sebagai tengara bahaya. 47Air bah mulai menggenangi Desa Pathok. Semua penduduk berlarian menyelamatkan diri. Di tempat lain Nyai Latung mendengar bunyi kentongan dari kejauhan. Ia merasa heran dengan datangnya air bah yang besar. Belum juga terjawab penasarannya, ia teringat pesan Baro Klinting untuk segera naik ke atas lesung. Dalam kungkungan rasa bingung, Nyai Latung menyaksikan air bah itu terus datang dan semakin tinggi menggenangi gubuk dan sekitarnya. Lesung yang dinaiki Nyai Latung terapung-apung. Air makin membesar dan dalam sekejap menggenangi Desa Pathok. Nyai Latung menyaksikan para tetangganya tenggelam. Kejadian itu terasa begitu cepat. Nyai Latung hanya tertegun dalam kebingungan yang teramat sangat. Setelah beberapa lama, lesung yang ditumpangi Nyai Latung terbawa menepi sehingga ia dapat naik ke darat. Mata tuanya masih tidak percaya dengan kejadian yang baru saja dialaminya. Desa Pathok tempatnya tinggal selama ini tenggelam bersama seluruh penduduknya. Ia baru menyadari hanya ia yang selamat dari banjir bandang itu. Penduduk desa yang lain tewas tertelan air bah yang ia sendiri pun tidak tahu dari mana mulai mengingat-ingat kejadian sebelum bencana itu terjadi. Ia ingat sosok Baro Klinting. 48“Siapa Baro Klinting sebenarnya? Apakah ia adalah jelmaan Dewata yang murka dengan penduduk desa?” gumam Nyai Latung penuh tanya termangu ia memandangi air bah di hadapannya menjelma menjadi genangan luas berbentuk rawa-rawa. Mata tua Nyai Latung menyaksikan desanya tenggelam tidak bersisa dan berubah menjadi hamparan rawa yang luas. “Ah, betapa luas hamparan air rawa ini. Airnya bening sekali. Rawa berair bening, ya, itulah nama yang cocok untuk tempat ini,” gumam Nyai Latung Nyai Latung memutuskan tinggal di pinggir rawa tersebut. Ia menamakan desa yang tenggelam itu dengan nama Rawa Pening yang berasal dari genangan air bening yang membentuk rawa-rawa. Makin lama tempat itu makin ramai karena banyak pendatang yang menetap di daerah itu. Di sisi lain, Ki Hajar Salokantara telah percaya bahwa Baro Klinting adalah anaknya sebagai jelmaan dari pusaka sakti yang dimilikinya. Baro Klinting yang berubah wujud menjadi anak manusia itu telah terbebas dari kutukan. Ia menemui ayahnya di lereng Gunung Telomoyo. Mereka berdua pun pulang menemui Endang Sawitri.*** 49Biodata PenulisNama lengkap Tri Wahyuni, Telp kantor/ponsel 024 76744357/081369610009 Pos-el twahyuni99 Akun Facebook Yuni Nathansyah Alamat kantor Jalan Elang Raya Mangunharjo, Tembalang, Semarang, Jawa Tengah Bidang keahlian Bahasa dan SastraRiwayat pekerjaan/profesi 10 tahun terakhir 1. 2005-2011 Staf Bidang Pengembangan, Kantor Bahasa Provinsi 2011-sekarang Staf Bidang Pembinaan Sastra, Balai Bahasa Jawa Pendidikan Tinggi dan Tahun Belajar S-1 Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Budaya Asing, Universitas Muhammadiyah Semarang 2000-2004 50Judul Buku dan Tahun Terbit 10 Tahun Terakhir 1. Kamus Dwibahasa Lampung—Indonesia 2009 2. Kamus Bahasa Indonesia—Jawa 20123. Kamus Bahasa Jawa Banyumasan—Indonesia 20134. Biogra Sastrawan Jawa Tengah dan Karyanya 20155. Legenda Jaka Tarub dalam Perbandingan 20156. Cerita Rakyat Kabupaten dan Kota Semarang 2015Judul Penelitian dan Tahun Terbit 10 tahun terakhir 1. Biogra Sastrawan Lampung Inggit Putria Marga bersama Ritanti Aji Cahyaningrum, 20052. Biogra Sastrawan Lampung Dahta Gautama 20063. Penerjemahan Buku Discourse Analysis Karya Henry G. Widdowson 20124. Ikhtisar Sastra di Jawa Tengah 2012Informasi Lain Lahir di Kendal, 22 Juni 1981. Menikah dan dikaruniai dua orang anak. Saat ini menetap di Kendal, Jawa Tengah. Aktif sebagai PNS di Balai Bahasa Jawa Tengah. Fokus perhatiannya adalah bidang leksikologi dan leksikogra. Terlibat di berbagai kegiatan di bidang pengembangan dan pembinaan bahasa di Jawa Tengah, beberapa kali menjadi narasumber di berbagai kegiatan pembinaan bahasa dan menjadi pemakalah pada beberapa seminar baik nasional maupun internasional. 51Biodata PenyuntingNama Dony Setiawan, donysetiawan1976 Keahlian PenyuntinganRiwayat Pekerjaan 1. Editor di penerbit buku ajar dan biro penerjemah paten di Jakarta,2. Kepala Subbidang Penghargaan, Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Pendidikan 1. S-1 1995—1999 Sastra Inggris Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya 2. S-2 2007—2009 Pendidikan Bahasa Universitas Negeri JakartaInformasi Lain Secara resmi sering ditugasi menyunting berbagai naskah, antara lain, modul diklat Lemhanas, Perpustakaan Nasional, Ditjen Kebudayaan Kemendikbud serta terbitan Badan Bahasa Kemendikbud, seperti buku seri Penyuluhan Bahasa Indonesia dan buku-buku fasilitasi BIPA. 52Biodata IlustratorNama Rizqia SadidaPos-el rizqiasadida Keahlian Ilustrasi dan desainRiwayat Pekerjaan 1. Tahun 2013 sebagai Intern 2D Artist Nigtspade Game Developer 2. Tahun 2015—2016 sebagai Desainer Outsource di Penerbit Mizan 3. Tahun 2013—sekarang sebagai Desainer dan free-lance ilustratorJudul Buku yang Pernah Diilustrasi 1. My First Quran Story Mizania Kids 2. Kisah Kisah di Sekolah Gramedia BIP 3. Ilustrasi untuk cover buku Penerbit Mizania dan HaruInformasi Lain Lahir 19 Maret 1993, seniman pameran WWF Nasib Gajah 2015, menaruh minat pada ilustrasi dan literatur buku anak. Bekerja paruh waktu di Perumahan Permata Bekasi II Blok E Nomor 6, Duren Jaya, Bekasi Timur. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Biografi SastrawanBiografi Sastrawan Lampung Inggit Putria Marga bersama Ritanti Aji Cahyaningrum, 2005Badan Pengembangan dan Pembinaan BahasaPusat Kepala Subbidang PenghargaanPembinaanKepala Subbidang Penghargaan, Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
- Rawa Bacin di Desa Jatimunggul, Kecamatan Tarisi, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, adalah destinasi wisata yang menarik dengan keindahan alam yang memukau dan cerita sejarah yang misterius. Rawa ini memiliki luas hampir 250 hektar dan menjadi tujuan populer bagi berbagai kalangan masyarakat yang ingin bersantai, memancing, atau sekadar berfoto-foto. Namun, di balik keindahannya yang memikat, Rawa Bacin juga menyimpan kisah-kisah kelam yang terkait dengan masa lalu yang suram. Nama "Bacin" sendiri memiliki arti "busuk" dalam bahasa setempat, yang konon berasal dari sejarah penyiksaan, pembunuhan, dan pembantaian kaum pribumi oleh penjajah Belanda. Rawa Bacin di Indramayu yang kenal akan cerita mistis. Z Creators/Titi RomiyatiBaca Juga Pulau Gili Ketapang Sumbang Calon Jemaah Haji Terbanyak di Probolinggo Menurut warga setempat seperti Bapak Cecep Supriatna, banyak korban pembantaian tersebut yang dulu dibuang ke rawa ini, dan aroma busuk yang tercium di sekitar rawa tersebut konon berasal dari sejarah kelam itu sendiri. Hal ini menambah suasana mistis dan angker di rawa tersebut, terutama saat malam menurut penuturan Bapak Ujang, Rawa Bacin juga menjadi tempat bagi mereka yang mencari ketenangan dan melaksanakan meditasi. Di tempat ini, orang-orang berusaha menyepi untuk memperbaiki nasib dalam hidup mereka. Rawa Bacin di Indramayu yang kenal akan cerita mistis. Z Creators/Titi RomiyatiBeberapa orang yang terjerat masalah berharap menemukan kedamaian dan solusi, sementara yang lain berharap mendapatkan kekayaan. Diyakini bahwa melalui meditasi dan kekhusyukan di Rawa Bacin, seseorang dapat mendapatkan berkah dan kesuksesan. Ketika mengunjungi Rawa Bacin, pengunjung dapat menikmati pesona alam yang menawan. Pemandangan rawa yang luas, terutama saat matahari terbenam, menciptakan panorama yang memukau. Rawa Bacin di Indramayu yang kenal akan cerita mistis. Z Creators/Titi RomiyatiPengunjung juga dapat memancing di rawa ini, menguji keberanian dan keterampilan mereka dalam menangkap ikan-ikan yang beragam di dalamnya. Selain itu, suasana mistis yang tersembunyi di Rawa Bacin menambahkan keunikan wisata ini. Pengunjung yang tertarik dengan hal-hal supranatural dan mistis dapat merasakan sensasi yang berbeda ketika mengunjungi rawa ini. Terutama saat malam hari, suasana rawa yang sepi dan gelap menciptakan suasana yang mencekam, mengundang rasa penasaran bagi mereka yang suka dengan hal-hal yang berkaitan dengan dunia Bacin di Indramayu yang kenal akan cerita mistis. Z Creators/Titi RomiyatiBaca Juga Keajaiban Mulberry Putih Cegah Penuaan Dini hingga Bantu Pembentukan Kolagen di TubuhRawa Bacin merupakan salah satu destinasi wisata yang menarik di Jawa Barat yang menggabungkan keindahan alam yang memukau dengan cerita sejarah yang misterius. Keberadaannya yang mencakup kisah-kisah kelam masa lalu dan suasana mistis di malam hari menambah daya tariknya. Bagi para pengunjung yang ingin bersantai, memancing, berfoto, atau bahkan melakukan meditasi, Rawa Bacin menjadi tempat yang ideal untuk menghabiskan waktu dan menikmati keindahan alam yang luar Menarik Lainnya Dulunya Kebun Sayur, Kini Disulap Jadi Tempat Wisata ala Jepang Hits di Jatim Kodam Pattimura, Musnahkan Ribuan Amunisi Bahan Peledak Rusak Berat Hidden Gem di Bali, The Corner Warung Sajikan Menu Italia Lokasinya Dalam Gang Kecil!Konten ini adalah kiriman dari Z Creators Indozone. Yuk bikin cerita dan konten serumu serta dapatkan berbagai reward menarik! Let’s join Z Creators dengan klik di Creators
cerita legenda rawa pening dalam bahasa jawa